Laqadja akum rasulum


web stats

Sabtu, 06 Oktober 2018

Pernikahan Nabi Yusuf dan Zulaikha


            Dalam kitab-kitab tafsir banyak yang menceritakan pernikahan Zulaikha dengan Nabi Yusuf as. Imam ath-Thabari meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq bahwa ketika Nabi Yusuf keluar dari penjara dan menawarkan diri menjadi bendaharawan Negara, Firaun pada masa itu menempatkan Nabi Yusuf di posisi al-Aziz yang membelinya. Al-Aziz pun dicopot dari kedudukannya. Tak berapa lama kemudian, al-Aziz meningga dunia, dan Firaun menikahkan Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz, Ra’il.

Terjadilah dialog romantis antara Ra’il dan Nabi Yusuf:
“Bukankah kesempatan seperti ini lebih baik dan terhormat daripada pertemuan kita dahulu ketika engkau menggebu-gebu melampiaskan hasratmu”.

Lalu Ra’il menjawab dengan jawaban diplomatis dan romantis, “Wahai orang yang terpercaya, janganlah engkau memojokkanku dengan ucapanmu itu, ketika kita bertemu dulu jujur dan akuilah bahwa di matamu akupun cantik dan mempesona, hidup mapan dengan gelar kerajaan dan segalanya aku punya, namun ketika itu aku tersiksa karena suamiku tidak mau menjamah perempuan manapun termasuk aku, lantas akupun mengakui dengan sepenuh hatiku akan karunia Allah yang diberikan atas ketampanan dan keperkasaan dirimu.” Nabi Yusuf mendapatkan bahwa Ra’il masih perawan. Mereka menikah dan dikaruniai dua orang anak laki laki, Afra’im (Efraim) dan Misya (Manasye). Imam ath-Thabari dan muhaqqiq tafsirnya tidak menjelaskan keisra’iliyatan riwayat ini.

Kisah yang sama juga diriwayatkan oleh banyak mufassir, diantaranya Imam Fakr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-`Azhim, Imam az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyaf `an Haqa’iq at-Tanzil wa `Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta’wil, dll.

Selain kisah di atas, Imam as-Suyuthi meriwayatkan kisah lain dari Abdullah bin Munabbih, dari ayahnya, yakni ketika Yusuf lewat di sebuah jalan, mantan istri al-Aziz menampakkan diri sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai budak karena maksiat kepada-Nya, dan menjadikan budak sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.” Yusuf pun mengetahuinya lalu menikahinya, dan Yusuf mendapatinya mantan istri al-Aziz tersebut perawan karena al-Aziz tidak mampu menjamah perempuan.Kisah yang mirip juga diriwayatkan oleh Fudhail bin `Iyadh.

Kisah yang ketiga mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz diceritakan juga oleh Imam as-Sayuthi dari Wahab bin Munabbih, yakni ketika mantan istri al-Aziz memiliki suatu keperluan, lalu ada yang mengatakan kepada, “Jika engkau minta bantuan kepada Yusuf pasti akan dipenuhinya.” Mantan Istri al-Aziz pun minta pendapat kepada orang-orang, mereka mengatakan, “Jangan engkau lakukan, karena kami khawatir terhadapmu.” Mantan Istri al-Aziz pun berkomentar, “Saya tidak takut kepada orang (Yusuf) yang takut kepada Allah.” Dia pun datang menghadap Yusuf dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan hamba sebagai penguasa karena taat kepada-Nya.”

Ketika mantan istri al-Aziz tersebut melihat dirinya, dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan penguasa sebagai hamba karena maksiat kepada-Nya.” Yusuf memenuhi kebutuhan mantan istri al-Aziz, lalu menikahinya dan dia mendapatinya dalam keadaan perawan. Yusuf pun berkata, “Bukankah kesempatan ini lebih baik dan terhormat dari pada pertemuan yang lalu?” Mantan istri al-Aziz pun menjawab, “Ada empat hal yang membuatku melakukan hal itu: pertama, engkau adalah orang tertampan; kedua, aku adalah orang yang tercantik di masaku; ketiga, aku masih perawan; dan keempat, suamiku adalah orang yang impoten.”

Al-Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menceritakan kisah yang panjang mengenai nikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Zulaikha’ ditinggal mati suaminya ketika Yusuf masih dalam penjara. Sedangkan Zulaikha’ senantiasa merindu Nabi Yusuf sampai matanya buta karena tangisannya. Zulaikha’ pun hidup sengsara, tidak ada yang peduli dengannya. Setiap kali Nabi Yusuf lewat pada sebuah jalan, Zulaikha’ pun menantinya. Sampai diusulkan kepadanya untuk mengadukan nasib kepada Nabi Yusuf. Namun sebagian orang melarangnya karena perbuatan jahatnya terhadap Yusuf dahulu. Ketika Yusuf lewat, Zulaikha’ mengatakan dengan suara tinggi, “Maha suci Tuhan yang menjadikan penguasa menjadi budak karena kemaksiatannya, dan menjadi budak menjadi penguasa karena ketaatannya.” Yusuf pun mengetahui hal itu, lalu dia memerintahkan untuk membawa Zulaikha’ ke hadapannya.

Setelah bertemu, Zulaikha’ mengadukan segala penderitaan yang diembannya. Nabi Yusuf menangis mendengarkan cerita itu, dan bertanya, “Masih tersisakah rasa cintamu terhadapku? Zulaikha’ pun menjawab, “Demi Allah, melihatmu lebih aku cintai dari dunia dan seisinya.” Tangisan Yusuf pun menjadi-jadi, sampai dia pulang ke rumah.

Yusuf terus berfikir akan hal ini, hingga dia mengambil keputusan untuk mengirimkan utusan kepada Zulaikha’ dan berkata, “Jika engkau janda maukah menikah denganku? Dan jika engkau masih berkeluarga, aku akan mencukupimu.” Zulaikha’ menjawab, “Aku berlindung kepada Allah, jika Yusuf memperolokku. Dia tidak menginginkanku ketika aku masih muda, memiliki harta dan kedudukan. Sekarang, dia mau menikahiku di saat aku fakir, buta, dan renta.” Nabi Yusuf memerintahkan Zulaikha’ untuk bersiap-siap menghadapi pernikahan.

Lalu dia shalat dan berdoa kepada Allah untuk mengembalikan Zulaikha’ menjadi muda, cantik, dan dapat melihat. Mereka pun menikah, dan Nabi Yusuf mendapati Zulaikha’ dalam keadaan perawan, karena suaminya dahulu impoten.

Mereka hidup bahagia dan melahirkan dua orang putra. Nabi Yusuf sangat mencintai istrinya tersebut, namun, ketika istrinya sudah merasakan cinta Allah, dia pun melupakan segala sesuatu, hanya Allah yang ada dalam hatinya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Qurthubi dari Wahab bin Munabbih.

Walau Imam al-Qurthubi tidak mengomentari keisra’iliyatan kisah ini, muhaqqiq tafsirnya, Dr. Muhammad Ibrahim al-Hifnawi dan Dr. Muhmud Hamid Utsman menjelaskan bahwa kisah ini sama sekali tidak benar.

Dalam riwayat yang lain, Imam as-Suyuthi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa Nabi Yusuf menikahi mantan istri al-Aziz dalam keadaan perawan, karena suaminya (al-Aziz) impoten.
Dari penjelasan di atas, keterangan menikahnya Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz didapati setidaknya dari empat orang: Muhammad bin Ishaq, Wahhab bin Munabbih, Fudhail bin `Iyadh, dan Zaid bin Aslam. Selain diantara mereka terkenal meriwayatkan riwayat-riwayat isra’iliyat, seperti Wahab bin Munabbih dan Muhammad bin Ishaq, keempat perawi a`la ini adalah tabi’in, kecuali Fudhail bin `Iyadh, beliau adalah tabi’ tabi’in. Dalam meriwayatkan kisah di atas, mereka tidak menisbahkannya kepada sahabat nabi atau kepada Nabi Muhammad, tapi mereka nisbahkan kepada diri mereka sendiri. Ini berarti riwayatnya terputus.
Untuk menilai riwayat-riwayat di atas, setidaknya penulis menggunakan tiga penilaian: penilaian ulama hadis, ulama tafsir, dan ulama tarikh (sejarah). Ulama hadis sepakat, riwayat seperti ini dinilai lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya, ulama tarikh menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan sejarah (yang tidak ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar periwayatan hadis, yang berkaitan dengan agama.

Sedangkan ulama tafsir berbeda pendapat dalam menerima atau menolak riwayat seperti ini. Keterangan ini, setidaknya dilihat dari dua sisi.

Pertama, riwayat-riwayat yang berasal dari tabi’in. Menurut sebagian mufassir, jika riwayatnya shahih, walau berasal dari tabi’in, maka hal ini dapat digolongkan dalam tafsir bil ma’tsur. Namun, ulama tafsir yang lain berpendapat bahwa ungkapan tabi’in tidak terhitung dalam tafsir bil ma’tsur, tapi tergolong dalam tafsir bir ra’yi, jadi boleh diterima boleh tidak karena hanya sebatas pendapat tabi’in saja.

Sisi yang kedua kembali pada hukum periwayatan isra’iliyat di atas. Jika diteliti, riwayat-riwayat di atas tidak bertentangan dengan Alquran, hadis, akidah, atau merusak ibadah, karena hanya berkaitan dengan penamaan istri al-Aziz dan status nikah atau tidaknya antara Nabi Yusuf dengan mantan istri al-Aziz. Yakin atau tidaknya seseorang akan hal itu tidak sampai merusak akidahnya. Selain itu, riwayat-riwayat ini juga tidak didukung oleh Alquran dan hadis-hadis baginda Muhammad Saw. Sebagaimana telah dijelaskan, hukum meriwayatkan riwayat seperti ini tidak menjadi masalah, atau boleh, walaupun tidak menjelaskan status keisra’iliyatannya. Jadi wajar ketika ulama tafsir memasukkan riwayat seperti ini dalam tafsir mereka, dan mereka tidak menjelaskan statusnya.

Tidak ada komentar: