Laqadja akum rasulum


web stats

Selasa, 22 April 2025

Surat Wasiat Gubernur

"Surat Wasiat Gubernur "

Tak banyak orang tahu ia pernah menjadi Gubernur.

Ia tidak viral, tidak muncul di iklan, tidak suka menyebut dirinya sendiri di pidato-pidato. Tapi begitu ia wafat, ribuan orang datang dari berbagai penjuru desa dan kota. Mereka menangis seolah kehilangan ayah sendiri.

Setelah ia wafat, keluarga menemukan surat wasiat yang ditulis dengan tangan:
"Jika aku meninggal, jangan sebut namaku di baliho. Jangan beri nama jalan atas jasaku. Biarkan aku pulang ke Allah sebagai hamba biasa yang pernah diberi amanah."

Di masa jabatannya, Ia pernah dituduh tidak becus karena menolak proyek besar dari investor luar. 

Alasannya:
"Saya tidak ingin sawah warga digusur. Investasi tidak boleh mematikan hidup orang kecil."

Tuduhan pun berdatangan. Tapi ia diam. Tak membalas, tak menyerang balik.

Ia dikenal karena menyelesaikan masalah dengan tenang, dan bicara hanya jika perlu.

Ketika satu kabupaten berselisih karena konflik batas, Dia hadir tanpa rombongan besar. 

Ia hanya membawa Al-Qur'an kecil, duduk di tengah-tengah warga, dan berkata:

"Kalau kalian merasa benar semua, biarlah saya yang mengalah duluan. Tapi jangan biarkan rakyat saling memusuhi dan melukai. Saya datang bukan untuk menjadi pemenang. Tetapi Saya datang untuk meredakan."

Satu kalimatnya ternyata menghentikan konflik yang sudah bertahun-tahun.

Di awal nasehatnya, Gubernur ini selalu berujar: 


"Orang paling kuat bukanlah yang pandai mengalahkan orang lain, tapi yang mampu menahan dirinya ketika marah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan satu ayat Al-Qur'an yang sering ia baca dalam salatnya:
"Wa lā tastawī al-ḥasanatu walā as-sayyi'ah. Idfa’ billatī hiya aḥsan..." (QS. Fushshilat: 34)
"Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah dengan cara yang lebih baik..."

Tak pernah ada berita ia mengangkat suara. Tapi ada ratusan kisah diam-diam:


Ia menyamar jadi warga biasa saat mengecek rumah-rumah yang roboh karena banjir.

Ia mendatangi ibunda seorang pemulung yang meninggal tanpa keluarga, dan menyolatkan jenazahnya.


Ia sisihkan separuh gajinya setiap bulan untuk beasiswa anak yatim tanpa nama pengirim.

Waktu wafatnya, rakyat berkabung bukan karena kehilangan seorang pemimpin. Tapi karena kehilangan sosok yang menjadikan jabatan sebagai ladang taqwa, bukan tahta.

Ia memang gubernur. Tapi lebih dari itu, ia adalah pemimpin yang telah mengalahkan dirinya sendiri.Dan itu, adalah kemenangan sejati .

Tidak ada komentar: