Laqadja akum rasulum


web stats

Kamis, 16 Oktober 2025

Heni dan Jalan Belum Selesai

Heni dan Jalan Belum Selesai

Pagi baru saja berembun ketika warung kecil di tepi jalan mulai hidup.
Suara sendok bertemu panci, aroma kuah bakso menyeruak di udara.

Di antara kepulan uap itu, Heni menatap sekeliling — sederhana, tapi inilah kehidupannya sekarang.

Ponselnya bergetar pelan. Pesan yang dikirimnya ke Mang Mil masih terpampang di layar.

Mang, dari kisah itu sebenarau aku lah berdamai dgn takdir dan keadaan, bahkan aku telah berusaha memaafka orang-orang yg punyau andil hingga akhirau jalan aku luk ini... Tapi, setiap aku lewat dpn kantor PDAM itu, saat lah dekat kantor msh ada rasa sempit di dada, perih dan sedih... bearti aku blm sepenuhnya menerima jalanku Mang?

Mang Mil membaca pesan itu lama. Ia tahu betul, rasa perih seperti itu tidak bisa disembuhkan dengan nasihat singkat. Karena ada luka yang hanya bisa dirawat dengan waktu dan pemahaman yang tulus.

Sore itu, ia datang ke warung Heni. Langkahnya tenang, wajahnya teduh seperti biasa.
Ia duduk di kursi panjang dari kayu, menatap Heni yang sibuk mengaduk kuah, lalu berkata pelan,
“Hen… kau tahu? Ada luka yang tidak hilang meski sudah dimaafkan. Tapi itu bukan tanda kau belum ikhlas. Itu tanda bahwa dulu kau pernah sungguh-sungguh.”

Heni berhenti mengaduk, menatap wajah Mang Mil yang tenang.
“Tapi, kenapa dada ini masih sempit, Mang? Tiap lewat depan kantor itu, rasanya kayak ketemu bagian hidup yang belum selesai.”

Mang Mil tersenyum lembut.
“Karena kau masih manusia, Hen. Bukan batu.
Nabi Muhammad saw pun pernah menangis di Uhud ketika mengingat pamannya, Hamzah. Padahal beliau manusia paling sabar, paling lapang hatinya.”

Ia menatap langit sore yang mulai memerah.
“Heni, menerima takdir bukan berarti tidak pernah sedih lagi.
Tapi sedihmu sekarang bukan luka, melainkan kenangan yang sudah disucikan oleh doa.”

Ia lalu mengutip ayat yang dihafalnya,“Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah 286)

Dan ia menambahkan sabda Nabi saw:

“Ketahuilah, apa yang menimpamu takkan meleset darimu, dan apa yang meleset darimu takkan pernah menimpamu.”

Heni terdiam lama.
Uap kuah bakso naik pelan, menyelimuti wajahnya yang basah oleh haru.
“Mungkin betul, Mang… rasa ini bukan karena aku belum ikhlas. Tapi karena aku rindu. Rindu masa di mana aku masih merasa berguna.”

Mang Mil menatapnya penuh kasih.
“Itu artinya hatimu masih hidup, Heni. Tapi sekarang, bergunamu tidak lagi di kantor itu — melainkan di tempat ini. Di warung kecil yang setiap mangkuknya membawa rezeki halal, membawa doamu, membawa keteguhanmu.”

Ia berhenti sejenak, lalu berkata lagi,
“Heni, kau sudah sembuh. Hanya saja bekas luka memang tidak hilang. Tapi sekarang, ia sudah tak menyakitkan — hanya menjadi tanda bahwa kau pernah berjuang.”

Heni tersenyum samar.
Langit sore berubah jingga keemasan.
Ia menatap ke arah jalan tempat kantor lamanya berdiri — tapi kali ini, tak ada perih.
Hanya rasa syukur yang mengalir lembut di dadanya.

Karena ia sadar,
dari semua jalan yang pernah ia tempuh,
justru jalan yang sempit inilah
yang membuka ruang paling luas di hatinya.

Tidak ada komentar: