KEPEMIMPINAN dalam ISLAM: dari HADIS “TIDAK AKAN BERUNTUNG KAUM YANG DIPIMPIN WANITA”
Pendahuluan
Kepemimpinan adalah bagian penting dalam kehidupan sosial umat manusia, termasuk dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Dalam Islam, persoalan kepemimpinan mendapatkan perhatian besar karena menyangkut kemaslahatan umat. Salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang sering dikaji dalam konteks ini adalah sabda beliau: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita” (HR. Bukhari). Hadis ini kerap menjadi dasar penolakan terhadap kepemimpinan perempuan dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji hadis ini secara mendalam, baik dari sisi konteks historis, pemaknaan, maupun perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Pembahasan
1. Teks dan Terjemahan Hadis
Hadis yang dimaksud berasal dari riwayat Abu Bakrah, yang mengatakan:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Lan yufliha qawmun wallaw amrahum imra’atan.”
"Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita." (HR. Bukhari, No. 4425)
Hadis ini disampaikan Nabi SAW setelah mendengar bahwa kerajaan Persia dipimpin oleh seorang perempuan, yaitu Buran binti Kisra, menggantikan ayahnya yang wafat dalam konflik kekuasaan.
2. Makna dan Konteks Historis
Makna ungkapan “lan yufliha” adalah “tidak akan beruntung” atau “tidak akan sukses.” Dalam konteks hadis, Nabi tidak sedang memberikan larangan secara langsung, melainkan menyampaikan pandangan terhadap situasi kepemimpinan di Persia kala itu.
Konteks sejarah menunjukkan bahwa Persia pada masa itu sedang mengalami kemunduran politik dan kekacauan internal. Pengangkatan pemimpin wanita terjadi dalam kondisi darurat dan tanpa kesiapan struktur kekuasaan yang mendukung. Oleh sebab itu, sebagian ulama menilai bahwa sabda Nabi tersebut merupakan penilaian terhadap kondisi tertentu, bukan larangan mutlak.
3. Pendapat Ulama Mengenai Kepemimpinan Perempuan
-
Pendapat Tekstualis: Sebagian ulama memandang bahwa hadis ini adalah dalil yang jelas melarang perempuan menjadi pemimpin, terutama dalam posisi kepala negara atau imam besar. Mereka menganggap bahwa secara kodrati, laki-laki lebih sesuai untuk memimpin karena tanggung jawab kepemimpinan sangat berat dan kompleks.
-
Pendapat Kontekstual: Ulama yang menggunakan pendekatan kontekstual menekankan bahwa hadis ini tidak bersifat universal. Menurut mereka, Nabi SAW mengomentari kejadian spesifik di Persia, bukan memberikan hukum umum. Dalam pandangan ini, perempuan boleh menjadi pemimpin apabila memiliki kemampuan dan didukung oleh sistem yang memungkinkan partisipasi kolektif.
-
Pandangan Kontemporer: Dalam masyarakat modern dengan sistem demokrasi dan pembagian kekuasaan yang jelas, banyak cendekiawan muslim yang berpendapat bahwa perempuan dapat memegang posisi kepemimpinan, baik dalam pemerintahan, lembaga pendidikan, maupun organisasi sosial. Fokus utama kepemimpinan adalah integritas, kemampuan, dan keadilan, bukan semata jenis kelamin.
4. Kepemimpinan dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sejarah Islam
Al-Qur'an tidak secara eksplisit melarang perempuan menjadi pemimpin. Bahkan dalam surah An-Naml ayat 23–44, dikisahkan tentang Ratu Bilqis, pemimpin Saba yang bijak dan sukses, yang bahkan memimpin kaumnya masuk ke dalam keimanan setelah bertemu Nabi Sulaiman.
Dalam sejarah Islam, terdapat pula peran-peran kepemimpinan perempuan dalam bidang keilmuan, pendidikan, bahkan sebagai penentu kebijakan dalam masyarakat. Aisyah RA, istri Nabi SAW, dikenal sebagai tokoh penting dalam periwayatan hadis dan fatwa.
Kesimpulan
Hadis “tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita” merupakan bagian dari respons Nabi terhadap situasi politik di Persia, bukan sebuah larangan mutlak yang berlaku untuk segala waktu dan kondisi. Dalam konteks modern, kepemimpinan perempuan bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam selama dilakukan dengan amanah, keadilan, dan kemampuan. Oleh karena itu, penting untuk memahami hadis ini dengan pendekatan komprehensif dan tidak terlepas dari konteks historisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar