"Jejak Tanpa Lelah:
Untuk Kkd Iduanto di Usia 60 Tahun"
Assalamualaika ya Muhammad Rasulullah,
Tak mudah melupakan masa kecil kami yang penuh perjuangan, terutama jika itu dijalani bersama seorang saudara yang kini genap berusia 60 tahun—Kakanda Iduanto bin Aliman.
Sejak kecil, kami adalah sepasang sahabat dalam segala hal. Saat anak-anak lain masih tertidur, kami sudah melangkah bersama ke pinggir sungai (ayik durang), menyusuri pagi buta untuk mencari ikan, masang bubu teghasahan, sambil njenguk bubu pelus dan pasangan tengkalak di tengah ayik durang.
Bila pulang sekolah, bukan mainan yang kami cari, melainkan ngangkit bubu teghasahan khusus bubu ikan mungkus di ayik durang.
Tiap kali jenguk bubu teghasahan kami dapat mungkus sampai nyambar rawis, lalu memasangnya kembali untuk dijenguk menjelang petang. Kami pun masang bubu pelus dan masang tengkalak untuk kekaruhan akap paginye.
Seolah belum cukup, kami selalu membantu orang tua menempa pisau dan sengkuit dari pir bekas. Pisau itu kami kemas seadanya, lalu dibawa ke pekan Sabtu.
Kami berdiri memanggil pembeli, menawarkan harga, dan menerima hasilnya dengan bangga—karena itu bukan sekadar uang, tapi bukti bahwa kami bisa turut menopang keluarga.
Di sela-sela kesibukan itu, ada proyek kecil yang kami tangani bersama: mencetak batu bata. Kami keringkan bata-bata merah itu di terik matahari, satu demi satu. Hasil penjualan batu bata itu kami sisihkan untuk membantu kakak kami yang sedang belajar jauh di Bogor. Kami tak punya banyak, tapi punya semangat dan hati yang tak gampang menyerah.
Kadang kadang kami temalam di kebun talang giring nolongin ending dan bapang mbuka ume padi daghat.
Namun, pagi-pagi buta, saat kabut belum terangkat dari pematang, kami sudah menyusuri jalan pulang ke dusun, lalu bergegas ke sekolah dengan mata masih setengah terbuka—tapi hati penuh harapan.
Waktu pun berjalan, kami dewasa, lalu terpisah. Kakanda Iduanto mencari peruntungan di ibu kota, dan aku tetap di kampung halaman, menyelesaikan masa pengabdian sebagai seorang PNS rendahan yang kini telah pensiun. Jarak memisahkan, tapi kenangan tetap menyatukan.
Hari ini, saat Kakanda Iduanto genap 60 tahun, aku ingin semua tahu bahwa di balik keberhasilannya sebagai pengusaha sukses di Jakarta, tersimpan jiwa petarung yang ditempa sejak kecil. Jiwa yang tidak dididik di balik meja, tapi di ladang, sungai, dan peluh yang tak pernah kering.
Ya Allah...
Jadikan usia 60 tahun ini bukan tanda perlambatan, tapi permulaan dari kejernihan jiwa dan kedewasaan hakiki.
Limpahkan kepada Kakandaku kesehatan yang bukan hanya panjang umur, tapi panjang manfaat.
Lapangkan rezekinya bukan hanya dari harta, tapi juga dari waktu dan kasih sayang keluarga.
Anugerahkan kepadanya kekuatan untuk terus memberi, meski dunia tak selalu menghargai.
Jadikan langkah-langkahnya selalu berada di jalan-Mu, dan akhir hayatnya sebagai insan yang Engkau rindukan ya Rabb.
Selamat ulang tahun, Kakanda Iduanto.
Kau bukan hanya saudara, tapi cermin keteladanan yang membuatku bangga pernah tumbuh bersamamu.
Semoga generasi penerus kita selalu dalam redho dan berkah Allah SWT, aamiin ya rabbal alamin, sholallahu ala muhammad, ya sayidi ya rasulullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar