Jejak Langkah Kakanda
(Untuk Kakanda Iduanto bin Aliman di usia 60 tahun)
Di dusun kecil, di pelipir sungai,
kami tumbuh—bukan di istana, tapi di peluh pagi.
Petang dan subuh kami lalui,
mengejar ikan di arus yang tak henti.
Pulang sekolah, bukan tidur yang kami cari,
tapi bubu mungkus yang kami angkut hati-hati.
Setiap rawis kami pasang dengan harap,
agar petang nanti ada rezeki yang menatap.
Di samping itu, tangan-tangan kecil kami
menempa pisau dan sengkuit dari logam sepi.
Dijual di pekan Sabtu,
untuk membantu hidup yang tak pernah mengeluh.
Dan saat hujan menepi dari tanah liat,
kami mencetak bata demi bata—
bukan untuk istana kami sendiri,
tapi untuk kakak kami yang belajar di negeri.
Sesekali kami temalam di kebun,
dengan bintang sebagai atap,
dan embun jadi teman.
Pagi-pagi buta, kami berlari ke dusun,
agar tetap bisa belajar meski mata masih menyimpan kantuk.
Lalu waktu pun mengayuh kami ke jalan berbeda,
Kakanda ke Jakarta, aku tetap di kota kelahiran.
Ia meniti tangga pengusaha dengan tapak yang tak bising,
aku menyelesaikan pengabdian sebagai PNS rendahan—
dengan hati yang tenang, karena tahu
kami berdua telah berusaha sebaik mungkin
dalam jalan yang kami tempuh masing-masing.
Hari ini, Kakanda genap enam puluh,
bukan usia biasa,
ini usia syukur,
usia arif,
usia emas yang berkilau bukan karena kemewahan,
tapi karena nilai dan perjuangan.
Ya Allah…
Usia ini, karuniakan ia cahaya yang jernih,
tubuh yang sehat,
jiwa yang lapang.
Buka pintu rezekinya dari arah yang tak terduga,
dan izinkan ia menjadi pohon rindang bagi keluarga dan sesama.
Jadikan akhir hidupnya dalam husnul khatimah,
dan seluruh langkahnya Engkau berkahi hingga surga.
Selamat ulang tahun, Kakanda.
Dalam riwayat hidupmu,
tersimpan hikmah yang akan kami warisi selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar