Hati Hening di Persimpangan
Angin sore menyapu halaman kecil di depan rumah Heni. Di warung mungil yang berdiri dari papan bekas dan anyaman doa, ia menyiapkan dagangan—bakso rebus, sambal uleg, dan aroma kuah yang memanggil rasa lapar.
Sore itu, seperti biasanya, suara panci lebih jujur daripada suara manusia.
Di seberang jalan, berdiri gedung PDAM—tempat ia dulu bekerja, tempat yang setiap kali dilalui membuat dadanya terasa sempit, seperti ada pintu masa lalu yang masih belum benar-benar tertutup.
Suatu malam, Heni mengirim pesan pada Mang Mil, sahabat tua yang sering ia jadikan tempat bertanya tentang hidup.
“Mang, dari kisah itu sebenarnyo aku lah berdamai dgn takdir dan keadaan. Aku juga sudah berusaha memaafkan orang-orang yg punyo andil hingga akhirnya jalan hidupku jadi begini.
Tapi tiap kali aku lewat depan kantor PDAM itu, masih ada rasa sempit di dada, perih, sedih… apakah itu tandanya aku belum sepenuhnya ikhlas?”
Mang Mil membaca lama. Ia tahu kalimat itu lahir bukan dari jari, tapi dari hati yang lelah. Ia lalu menulis perlahan, seperti seorang guru kehidupan yang tak ingin menggurui:
“Hen, menerima takdir bukan berarti tidak pernah terasa sakit. Luka yang sudah sembuh pun kadang masih nyeri saat tersentuh angin. Jangan salah paham pada dirimu sendiri. Rasa sempit itu bukan tanda gagal berdamai, tapi bukti kau masih punya hati yang hidup.”
Heni diam membaca. Air matanya menetes, tapi kini bukan karena kecewa—melainkan karena merasa dimengerti.
Mang Mil melanjutkan pesannya,
“Ingat firman Allah, ‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui’ (QS. Al-Baqarah : 216).
Mungkin pintu PDAM itu ditutup agar pintu rezeki lain terbuka—yang lebih sesuai dengan jiwamu.”
Kemudian ia menambahkan kisah kecil, “Dulu Nabi Yusuf pun dibuang ke sumur dan dijual sebagai budak. Tapi justru dari kehinaan itulah Allah angkat dia menjadi penguasa Mesir.
Kadang, tempat jatuhmu hari ini adalah tempat Allah menyiapkan pijakan untuk terbang besok.”
Heni membaca sambil menatap warungnya. Suara mangkuk beradu, suara anak-anak tetangga memanggil, “Baksonyo satu, Buk Heni!”
Ia tersenyum. Entah kenapa, sore itu rasanya lebih ringan.
Dalam diam ia berbisik,
“Ya Allah, aku tidak lagi malu dengan jalan ini. Aku hanya ingin Engkau ridha. Biar hinaan orang jadi pupuk bagi sabarku.”
Dan di ujung warung kecil itu, di bawah sinar senja yang lembut, Heni merasa Tuhan sedang memeluknya melalui aroma kuah bakso yang sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar