Laqadja akum rasulum


web stats

Kamis, 11 Desember 2025

Cerpen: oleh IsmiliantoAib yang Kau Seret, Kebaikan yang Kau Kubur

Cerpen: oleh Ismilianto

Aib yang Kau Seret, Kebaikan yang Kau Kubur


Di sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang lelaki bernama Hamdan. Ia bukan orang jahat, bukan juga orang sempurna. Ia hanya manusia biasa—punya kekurangan, punya kebaikan, dan punya masa lalu yang tak ingin ia buka.

Namun ada satu sosok yang sangat membencinya: Sahri, tetangganya sendiri.

Sahri memiliki kebiasaan buruk:
Ia suka menyebutkan kekurangan Hamdan di mana pun ia duduk.
Di warung kopi, di masjid, di sawah, bahkan di acara keluarga.

“Hamdan itu orangnya begini…”
“Hamdan itu pernah begini…”
“Hamdan itu dulu….”

Semua orang sudah hafal.
Aib Hamdan diseret dari mulut Sahri seperti barang murahan.
Namun satu hal yang tak pernah ia sebutkan:
kebaikan Hamdan.

Padahal orang-orang tahu…
Hamdan sering membantu janda-janda tua,
sering menalangi beras tetangga,
sering memperbaiki rumah orang tanpa dibayar.
Tapi semua itu tak pernah keluar dari lisan Sahri.

Hati Hamdan terluka.
Namun ia memilih diam,
karena ia pernah belajar satu hadis:

“Barangsiapa menutupi aib saudaranya, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)

Dan ia memegang hadis itu seperti memegang cahaya di gelap malam.


Hingga datang hari itu…

Satu pagi, seluruh desa digemparkan.
Anak lelaki Sahri kedapatan mencuri uang kas masjid.
Orang-orang marah, ingin memanggil aparat, ingin mempermalukan keluarga Sahri.

Masyarakat berkumpul,
suasana panas,
bisik-bisik penuh kemarahan.
Sahri pucat, tak bisa mengangkat wajah.
Ia merasa seluruh dunia menimpa dadanya.

Tiba-tiba, seseorang datang dari arah masjid.
Laki-laki itu melangkah tenang, membawa map coklat.
Dialah Hamdan.

Semua mata tertuju kepadanya.
Sahri ketakutan—mungkin inilah saat balas dendam itu datang.
Ia menunduk, menahan air mata.

Hamdan membuka map itu.
Isinya… rekaman CCTV.
Semua orang menahan napas.

Tapi kemudian Hamdan berkata dengan suara lembut,
namun tegas seperti embun yang jatuh di atas batu:

“Sebelum kalian melihat videonya…
aku ingin mengatakan sesuatu.
Kita semua bukan malaikat.
Anak ini salah, tapi bukan berarti masa depannya harus hancur.
Aku mohon—jangan seret aibnya ke hadapan dunia,”

katanya sambil menatap warga satu per satu.

Lalu ia melanjutkan:

“Bagaimana jika itu terjadi pada anak kalian?
Pada cucu kalian?
Apa yang kalian harapkan selain belas kasih?”

Suara desa menjadi senyap.
Angin pun seperti berhenti.

Hamdan menutup map itu perlahan.

“Aku sudah bicara dengan pengurus masjid.
Uang sudah diganti.
Anak ini sudah meminta maaf.
Biarkan kami selesaikan ini secara keluarga.
Jangan ada yang disebarkan.
Jangan ada yang diumbar.”

Warga saling pandang.
Kemarahannya padam.
Sebagian meneteskan air mata.

Sahri memandang Hamdan dengan tubuh gemetar.
Tak sanggup berkata apa-apa.
Aibnya baru saja diselamatkan…
oleh orang yang selama ini ia jatuhkan.


Malam itu…

Sahri datang ke rumah Hamdan.
Tak kuat menahan air mata,
ia bersimpuh di depan lelaki yang pernah ia hina habis-habisan.

“Aku… aku sudah merusak kehormatanmu.
Aku sebarkan aibmu.
Tapi hari ini engkau selamatkan kehormatanku.
Kenapa, Dan… kenapa engkau lakukan itu?”

Hamdan menatapnya lembut.
Ada kejernihan di matanya yang menenangkan.

“Karena aku takut Allah membukakan aibku
sebagaimana engkau membukakan aibku di hadapan manusia,”
jawab Hamdan.

Lalu ia menambahkan pelan:

“Sahri… manusia selalu punya dua sisi.
Jika kau mencari aib, kau akan menemukannya.
Jika kau mencari kebaikan, kau juga akan menemukannya.
Tapi Allah akan memperlakukanmu sesuai apa yang kau cari pada manusia.”

Sahri menangis.
Hatinya runtuh, gengsinya hancur,
dan ia merasa kecil di hadapan lelaki yang jauh lebih mulia darinya.

Malam itu, ia berjanji:
tidak akan pernah lagi membuka aib siapa pun.

Karena ia telah merasakan langsung…
betapa berharganya orang yang menutup aib,
dan betapa pedihnya menjadi pelaku yang membuka aib.

Akhir Cerita – Pelajaran untuk Kita Semua

Saudaraku…
Di dunia yang ramai dengan gosip, celaan, dan fitnah,
kita membutuhkan lebih banyak Hamdan:
orang yang menutupi,
bukan mengumbar.

Karena manusia paling mulia bukan yang tajam melihat kekurangan,
tetapi yang lembut menyingkap kebaikan.

Dan ingatlah—
di Hari Kiamat nanti,
kita akan sangat membutuhkan Allah
untuk menutupi aib kita.

Maka tutuplah aib manusia,
agar Allah menutup aibmu kelak
pada hari ketika tidak ada pena yang bisa membohongi,
dan tidak ada lisan yang bisa berkelit.



Cerpen: oleh IsmiliantoDI AMBANG PINTU BERKAH DAN MURKA

Cerpen: oleh Ismilianto

DI AMBANG PINTU BERKAH DAN MURKA

Langit sore itu berwarna tembaga. Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang lelaki bernama Malik—seorang pedagang yang dulu dikenal jujur, tetapi akhir-akhir ini hidupnya mulai berubah.
Ia pernah kaya, lapaknya ramai, wajahnya cerah. Namun sejak beberapa bulan terakhir, rezekinya merosot tajam: dagangan tak laku, keluarganya sering sakit, dan hatinya gelisah seakan ada awan gelap yang selalu mengikuti.

Suatu malam, Malik duduk di depan toko sepi yang dulu ramai. Ia bertanya dalam hatinya, “Mengapa engkau berpaling dariku, Ya Allah? Bukankah aku telah bekerja keras?”

Namun bayangan masa lalu menampar jiwanya. Dulu ia mulai menunda salat. Ia mulai mengambil sedikit keuntungan dari barang timbangan yang sengaja dikurangi. Ia mulai membalas gosip dengan gosip, dan lidahnya tak lagi terjaga.

Teringatlah ia pada firman Allah:
“Apa saja musibah yang menimpamu, itu karena perbuatan tanganmu sendiri.”
(QS. Asy-Syura: 30)

Malik tersentak. Seolah ayat itu menyorot seluruh kelalaian yang ia lakukan.

Dalam kebingungan itu, datang seorang lelaki tua—Ustaz Sabil—yang dikenal berhati lembut namun lisannya tajam meluruskan. Ia menatap Malik lama, lalu berkata pelan,
“Malik, berkah itu bukan datang karena ototmu bekerja… tapi karena hatimu tunduk.”

Malik menunduk. Ia tak sanggup membantah.

Ustaz Sabil duduk di sampingnya dan bercerita,
“Pernah ada seorang sahabat datang kepada Nabi dan mengadu tentang rezekinya yang sempit. Nabi menjawab: ‘Perbanyak istighfar.’ Dan Allah berfirman: ‘Jika kalian bertakwa, Allah akan memberi jalan keluar dan rezeki dari arah yang tidak disangka.’”
(HR. Ahmad; QS. Ath-Thalaq: 2–3)

Kata-kata itu seperti pisau membuka tirai gelap yang menutup hati Malik.

Malam itu, saat semua orang terlelap, Malik bangun. Ia mengambil wudu, tubuhnya gemetar, lalu ia menggelar sajadah. Untuk pertama kali setelah sekian lama, ia menangis.
Ia sujud lama… sangat lama… sampai dadanya berguncang sembari berkata:

“Rabbi inni zhalamtu nafsi faghfir li…”
“Ya Allah, aku telah menzalimi diriku sendiri, ampunilah…”

Tiba-tiba ia teringat sebuah kisah yang pernah ia dengar: seorang pencuri yang bertobat pada malam penuh hujan, lalu Allah bukakan rezekinya dari arah yang tak masuk akal—karena Allah melihat ketulusan air matanya. “Allah tidak melihat rupa kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian,” hadis itu kembali terngiang.

Malam itulah titik balik Malik.

Keesokan hari, ia membuka toko dengan wajah berbeda.
Timbangan ia benarkan, ia kembalikan uang pelanggan yang dulu pernah ia tipu. Ia meminta maaf kepada orang yang pernah ia sakiti lisannya. Ia mulai salat di masjid, duduk berzikir hingga tenang terasa turun dari langit.

Beberapa hari kemudian, keajaiban mulai muncul.
Tiba-tiba ada rombongan pembeli dari luar daerah yang membeli dagangannya dalam jumlah besar. Lalu seorang kerabat lama datang menawarkan kerja sama usaha. Anak-anaknya yang sakit mulai pulih. Rumahnya kembali hangat penuh senyum.

Itulah hari ketika Malik mengerti—bahwa rida Allah, ketika datang, lebih manis dari seluruh rezeki dunia; dan murka-Nya, ketika datang, lebih berat dari beban seluruh bumi.

Dan sore itu, ia duduk di depan tokonya sambil tersenyum, sebab ia merasakan sebuah rasa yang hilang selama ini: berkah.

Ia teringat kalimat Ustaz Sabil saat pertama kali menegurnya:
“Berkah itu bukan banyaknya harta… tetapi tenangnya hati karena Allah meridai.”

Malik menengadah ke langit tembaga yang kini berubah jingga.
Di dadanya, ia berbisik:

“Ya Allah, jangan Engkau palingkan hatiku setelah Engkau menunjuki aku… Jadikan aku hamba yang Kau ridhai.”

Dan saat ia berdiri menutup toko, ia sadar satu hal yang paling menggetarkan:
jalan menuju berkah bermula dari sujud, tetapi jalan menuju murka bermula dari lalai.

Rabu, 10 Desember 2025

Cerpen: oleh IsmiliantoKETIKA BERKAH ITU PERGI

Cerpen: oleh Ismilianto


KETIKA BERKAH ITU PERGI

Hujan malam itu turun seperti bisikan langit. Di sebuah rumah kecil, seorang lelaki bernama Rafi duduk menatap meja dagangannya yang sepi. Ia mengeluh untuk kesekian kali.

“Usaha lain ramai… kenapa tempatku tetap begini?” rutuknya.

Padahal dulu, tempat itu tidak pernah sepi. Rafi pernah merasakan hari-hari indah ketika sedikit barang jualan terasa cukup, dan rezeki mengalir seperti air bening. Tapi itu dulu—sebelum ia mulai melalaikan salat demi mengejar pembeli, sebelum lisannya kasar kepada ibunya, dan sebelum ia sibuk menghitung untung kecil sambil lupa mengucap syukur besar.

Di malam sunyi itu, ia teringat satu ayat yang pernah ia hafal saat kecil tapi lama ia kubur:

“Jika penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami bukakan keberkahan dari langit dan bumi.”
(Al-A‘raf: 96)

Rafi menggigil. Kata “berkah” itu menampar batinnya.

Ia teringat pula sabda Rasulullah:

“Dosa itu menarik kesempitan hidup.”
(HR. Ahmad)

Seperti ada tangan lembut namun tegas yang menariknya mundur untuk melihat hidupnya sendiri.
Ia ingat… ia sering meninggikan suara kepada ibunya. Ia ingat… ia pernah memotong timbangan demi keuntungan sedikit. Ia ingat… ia lama tidak sujud dengan hati.

Dan malam itu, ia menangis pertama kali setelah bertahun-tahun.
Sujud… lama sekali… entah berapa menit.

“Ya Allah… kalau benar keberkahan-Mu pergi karena aku… kembalikanlah. Aku rindu Engkau…”

Keesokan paginya, langkah kaki lemah itu menuju rumah ibunya.
Ia mengetuk pelan.

Ibunya membuka pintu—wajah renta yang dulu sering ia sakiti dengan kata-kata.

Rafi menunduk, suaranya pecah.
“Bu… maafkan Rafi… Doakan… Allah kembalikan berkah-Nya…”

Air mata ibunya jatuh. Ia memeluk Rafi sambil berbisik:

“Anakku… rahmat Allah itu lebih luas daripada dosamu.”

Kalimat itu seperti cahaya.

Sejak hari itu, Rafi memperbaiki salatnya, meluruskan timbangannya, menjaga lisannya, dan memeluk istighfar seperti sahabat baru.

Toko kecilnya perlahan mulai ramai lagi—bukan karena strategi, bukan karena promosi, tapi karena Allah mengembalikan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar rezeki:

Berkah. Rahmat. Rida.

Dan Rafi akhirnya memahami makna firman Allah:

“Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.”
(Al-A‘raf: 156)

Ia tersenyum.
Kadang, yang hilang dari hidup kita bukan rezeki—tapi keberkahan.
Dan yang mengembalikannya bukan usaha keras semata—tapi sujud yang jujur.

Kamis, 04 Desember 2025

Cerpen: oleh Ismilianto Luka yang Ditukar dengan Yasin

Cerpen: oleh Ismilianto

Luka yang Ditukar dengan Yasin

Di sebuah kabupaten pegunungan yang sejuk, hiduplah seorang perempuan ASN muda bernama Nadia. Ia tidak sempurna, tidak luar biasa, namun ia punya satu kelemahan: ia takut dianggap salah. Takut difitnah. Takut tidak dipercaya. Takut kehilangan cinta.

Pacarnya, Raka, adalah lelaki yang panas hati dan cepat cemburu. Suatu hari ia menuduh Nadia selingkuh. Tuduhan itu seperti badai: keras, menusuk, dan terus menghantam meski berkali-kali Nadia menolak.

Namun malam itu…
sesuatu dalam diri Nadia retak.

Ia menangis, suaranya pecah.
“Berapa kali lagi aku harus bilang aku nggak bersalah, Ka? Sampai kapan?”

Tetapi Raka diam — diam yang lebih menyakitkan dari makian.

Nadia yang terdesak oleh emosi, marah, dan rasa tidak dipercaya, tiba-tiba mengambil buku Yasin yang ada di lemari.
Tanpa ada yang menyuruh.
Tanpa paksaan.
Hanya dorongan batin yang kacau:
“Biar dia percaya… aku harus buktikan!”

Ia meletakkan buku Yasin itu di lantai.
Tangannya gemetar.
Wajahnya pucat.
Hatinya remuk.

Dalam hitungan detik yang gelap, ia mengangkat kakinya…
dan menginjak buku Yasin itu.

Raka tersentak.
Refleks, ia mengangkat ponselnya.
Ia tidak memerintah — tapi ia menekan rekam.
Mungkin terpancing emosi.
Mungkin ingin menjadikan itu “bukti pembelaan diri”.
Mungkin hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang ia lihat nyata.

Detik itu direkam.
Dan detik itu menghancurkan segalanya.


Video itu bocor.
Entah bagaimana.
Namun begitu keluar, dunia seperti menelannya.

Komentar marah di media sosial membanjiri.
Warga membicarakan di warung kopi.
Tatapan di kantor berubah tajam seperti bilah pisau.

Nadia, yang sebelumnya hanya ingin membuktikan diri…
justru membuktikan betapa besar kerusakan yang lahir dari satu tindakan tanpa ilmu.

Dalam keadaan kacau, Nadia mengingat sebuah ayat:

“Dan barang siapa mengagungkan apa yang dimuliakan Allah,
maka itu tanda ketakwaan hati.”

(QS. Al-Hajj: 32)

Ayat itu terasa seperti tamparan.
Karena ia tahu: meski Yasin bukan seluruh Al-Qur’an,
itu kitab suci.
Ia telah mempermainkan sesuatu yang suci — hanya demi pembenaran diri.


Beberapa hari kemudian, ia menerima surat pemecatan.
Dunia runtuh.
Harapannya hancur.
Nafasnya seperti dicekik oleh kenyataan yang ia buat sendiri.

Malam itu, ibunya berkata lirih:

“Nak… tidak ada luka sebesar kehilangan takut kepada Allah.
Kau terluka oleh manusia, lalu kau melukai dirimu sendiri.”

Nadia menangis sampai tubuhnya lemas.
“Bu… aku bodoh… aku marah… aku nggak mikir…”

Ibunya mengelus kepalanya.
“Semua manusia bisa jatuh.
Tapi tidak semua manusia mau bangun.
Pilihan ada pada kau.”


Esoknya Nadia pergi ke masjid kecil di kampung.
Seorang ustaz tua duduk di tangga serambi, memandangnya penuh pengertian.

“Aku sudah lihat videonya,” kata ustaz itu.
“Tapi aku juga lihat wajahmu sekarang — itu wajah orang yang menyesal sungguh-sungguh.”

Nadia menunduk, sesenggukan.
“Apa Allah terima taubat orang seburuk aku, Ustaz?”

Ustaz itu menjawab lembut:

“Allah menerima taubat siapa pun, selama ia benar-benar kembali.
Bahkan seorang pembunuh 100 jiwa diterima ketika ia mau berubah.”

(HR. Muslim)

“Kalau dia saja diterima…
maka engkau yang hanya hilang arah karena luka…
lebih layak untuk kembali.”

Kalimat itu menembus lurus ke jantung Nadia.


Ia mulai bangkit.

Setiap sore, ia mengajar anak-anak ngaji di surau kecil.
Bukan untuk membersihkan namanya — tapi untuk membersihkan hatinya.
Ia membaca Yasin pelan-pelan, penuh rasa hormat.
Ia memperbaiki kesalahan lamanya dengan kebaikan yang istiqamah.

Anak-anak mulai memanggilnya “Bu Nadia”.
Warga mulai melihat perubahan itu.
Ia tidak menjadi malaikat —
tapi ia menjadi manusia yang lebih rendah hati.

Suatu sore, seorang ibu datang membawa anak kecil.

“Bu… dulu saya marah sekali,” katanya pelan.
“Tapi sekarang saya lihat cara ibu membimbing anak kami.
Ibu mungkin jatuh…
tapi yang saya lihat sekarang adalah orang yang sudah menemukan jalannya.”

Air mata Nadia mengalir.
Bukan air mata penyesalan lagi —
tapi air mata syukur.

Karena ia sadar:

Tuhan menghukumnya lewat manusia,
tapi Tuhan juga menuntunnya kembali lewat jalan yang lebih lembut.


Pesan Moral — Keras, Dalam, Menyentuh

  • Jangan pernah bermain-main dengan sesuatu yang suci untuk membuktikan diri kepada manusia.
  • Jangan menukar kehormatan kitab dengan pembelaan diri yang emosional.
  • Luka hati tidak boleh melahirkan dosa.
  • Kesalahan sebesar apa pun masih punya pintu kembali — selama manusia mau menundukkan kepala dan mengangkat hati.


Cerpen: oleh Ismilianto KISAH itu MEROBEK LANGIT KESABARAN

Cerpen: oleh Ismilianto

KISAH itu MEROBEK LANGIT KESABARAN

Hujan sore di Kendari turun seperti air mata langit, seakan tahu ada hati seorang guru yang sedang disayat fitnah.
Namanya Pak Mansur.
Di sekolah, ia bukan hanya guru—ia adalah ayah kedua bagi anak-anak yang masih belajar mengenal dunia.

Pada hari itu, di kelas kecil yang temboknya penuh gambar warna-warni, seorang siswi bernama Alya duduk pucat, tubuhnya gemetar. Pak Mansur mendekat, meletakkan telapak tangannya di kening anak itu. Lembut. Sepintas.
Seperti seorang ayah memastikan anaknya tidak demam.

Tapi kebaikan itu… berubah menjadi petaka.

Ketika Alya pulang, lidah kecilnya yang terbata tak mampu menjelaskan dengan sempurna. Di rumah, orang tuanya—yang pikirannya sedang panas oleh masalah hidup—langsung menafsirkan yang terburuk. Tanpa tabayun. Tanpa menimbang. Tanpa bertanya kepada sekolah.

Padahal Allah telah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman… jika datang kepadamu seorang pembawa berita, maka telitilah dulu (tabayun)…” (QS. Al-Hujurat ayat 6)

Namun ayat itu tidak singgah di pikiran orang tua Alya malam itu.

Mereka mendatangi kantor polisi.
Laporan dibuat.
Nama baik digantung.
Harga diri seorang guru diseret seperti kain lap di tengah jalan.


Di ruang penyidikan yang dingin, Pak Mansur duduk dengan mata sembab.
Seorang penyidik muda berkata tanpa ekspresi,
“Kami hanya menjalankan prosedur.”

Oh, betapa sering kalimat itu dijadikan tameng untuk menggugurkan nurani.

Rasanya seperti mendengar sabda Nabi yang diputar balik:

“Tidak halal menyakiti seorang muslim tanpa sebab yang benar.” (HR. Ahmad)

Tetapi di hari itu, tidak seorang pun membelanya.

Kasus naik ke kejaksaan.
Jaksa, yang tahu bukti sangat lemah, tetap melanjutkan berkas.
“Biar pengadilan yang memutuskan,” katanya.

Tetapi masyarakat sudah memutuskan terlebih dahulu.
Fitnah selalu lebih cepat daripada kebenaran.
Fitnah lebih berisik daripada fakta.

Dan Rasulullah sudah mengingatkan:

“Fitnah itu tidur, dan Allah melaknat siapa yang membangunkannya.” (HR. Ibnu Majah)

Namun fitnah yang satu ini dibangunkan di atas nama emosi dan prasangka.


Beberapa hari kemudian, di sebuah ruang kecil sekolah, seorang guru senior mengajak Alya berbicara lembut.
Alya menangis tersedu.

“Bukan… bukan seperti itu… Pak Mansur cuma pegang keningku karena aku kelihatan mau pingsan…”

Kalimat itu seperti petir yang membelah langit.
Kebenaran akhirnya keluar—tetapi setelah berapa banyak air mata tertumpah?
Setelah berapa banyak kehormatan ditikam?


Orang tua Alya datang dengan wajah tertunduk.
“Pak… maafkan kami…”
Kepolisian datang membawa senyum kaku.
Kejaksaan mengirim surat permohonan maaf yang hambar dan datar.

Namun semua itu… tidak cukup menghapus luka.

Karena ada satu kenyataan pahit:

Nama baik dapat dipulihkan di berkas hukum,
tetapi tidak selalu pulih di hati masyarakat.


Pada hari ia kembali mengajar, murid-murid berlari memeluknya.

Pada pelukan kecil itulah, Pak Mansur teringat satu kisah ulama terdahulu.

Pernah satu ketika, Imam Ahmad difitnah hingga dipenjara dan dicambuk.
Ketika ditanya, “Bagaimana engkau tetap sabar?”
Imam Ahmad menjawab:

“Jika aku tidak sabar, siapa lagi yang menjaga agama ini dari tangan-tangan zalim?”

Pak Mansur menitikkan air mata…

“Jika aku tidak sabar, siapa lagi yang menjaga masa depan murid-muridku dari salah paham orang dewasa?”


Cerita ini bukan sekadar kisah seorang guru yang dizalimi.
Ini teguran langit:

– kepada orang tua yang lupa tabayun,
– kepada aparat yang menomorsatukan prosedur daripada nurani,
– kepada kejaksaan yang melanjutkan perkara rapuh,
– kepada masyarakat yang lebih cepat menghukum daripada mendengar,
– kepada kita semua… bahwa fitnah adalah senjata paling kejam di bumi.

Jika seorang guru—penjaga akhlak anak-anak bangsa—bisa dihancurkan oleh salah tafsir sesingkat satu sentuhan kening…
lalu siapa lagi yang aman di negeri ini?


Dan dari kedalaman hatinya, Pak Mansur berdoa lirih, mengulang firman Allah:

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Asy-Syarh ayat 6)

Karena ia percaya…
Kebenaran memang terlambat datang,
tetapi ia pasti datang.



Cerpen: oleh IsmiliantoPENYESALAN YANG TERLAMBAT

Cerpen: oleh Ismilianto

PENYESALAN YANG TERLAMBAT

Di sebuah kota kecil bernama Kendari, hiduplah seorang guru sederhana bernama Pak Mansur. Baginya, sekolah bukan sekadar tempat bekerja—itu adalah rumah keduanya.
Ia hafal suara tawa murid-muridnya, mengenali langkah mereka dari jauh, bahkan mampu menuturkan mimpi masing-masing murid seolah itu mimpinya sendiri.

Suatu siang, seorang siswi bernama Alya tampak pucat, memegangi perutnya, berjalan terhuyung. Pak Mansur, seperti biasanya, mendekat dan meletakkan telapak tangannya di kening Alya.
Hanya sebentar.
Hanya ingin memastikan apakah anak itu demam.

Namun dunia tidak menafsirkan kebaikan sebagaimana niatnya.

Di rumah, orang tua Alya—yang akhir-akhir ini dipenuhi stres pekerjaan dan konflik rumah tangga—langsung meledak ketika mendengar cerita anaknya yang terbata-bata. Yang sederhana berubah rumit, yang kecil dibesar-besarkan. Tanpa tabayun, tanpa bertanya, tanpa mencari kebenaran.

Malam itu, laporan dibuat.
Esoknya, sekolah gaduh.
Dan beberapa hari kemudian, Pak Mansur dipanggil polisi.

“Kami hanya menjalankan prosedur, Pak,” ujar seorang penyidik muda, tanpa berani menatap matanya. Kalimat itu terdengar sopan, tetapi di telinga Pak Mansur, itu seperti vonis tanpa sidang.

Guru-guru lain gelisah, tetapi tak berani bersuara.
Kepala sekolah hanya mampu menghela napas panjang,
“Saya tidak bisa berbuat banyak, Pak… masyarakat sedang sensitif.”


Hari berlalu, dan kasus itu naik ke kejaksaan.

Seorang jaksa muda sebenarnya ragu—buktinya lemah, bahkan nyaris tidak ada. Tapi di balik meja tugasnya, ia hanya mengulang kalimat yang paling sering digunakan birokrasi:

“Biarkan pengadilan yang memutuskan.”

Sementara itu, nama baik Pak Mansur telah diputuskan lebih dulu oleh bisik-bisik warga.


Pada suatu pagi, hujan turun deras.
Pak Mansur duduk di beranda rumah sederhananya, memandang halaman yang tergenang. Di tangannya menggigil secarik kertas: surat keputusan nonaktif sementara.

Ia teringat wajah murid-muridnya.
Suara mereka.
Angan masa depan mereka.

Dan tiba-tiba, ia menangis—bukan karena takut dipenjara, tetapi karena sebagian dari jiwanya tercerabut.


Beberapa minggu kemudian, kebenaran akhirnya terkuak.
Alya, dalam bimbingan seorang psikolog sekolah, menangis dan berkata lirih,
“Ayah Ibu salah paham… Pak Mansur cuma ngecek saya demam…”

Berita itu sampai ke sekolah, lalu ke media, lalu ke aparat.
Namun sesuatu tetap terasa terlambat.

Orang tua Alya datang ke rumah Pak Mansur sambil membawa kue dan permintaan maaf.
Polisi datang membawa senyum kaku.
Jaksa mengirimkan surat permohonan maaf atas “ketidaknyamanan selama proses berlangsung”.

Tetapi tidak ada satu pun dari mereka benar-benar mengerti…

Bahwa yang hilang bukan hanya waktu dan nama baik—melainkan kepercayaan terhadap dunia yang pernah sangat dicintai seorang guru.


Di hari pertama ia diperbolehkan kembali ke sekolah, Pak Mansur berdiri di depan kelas.
Murid-murid langsung berlari memeluknya.

Air matanya jatuh, bukan karena kebahagiaan, tetapi karena satu kesadaran tajam yang menghantam jantungnya:

“Di negeri ini, guru bukan hanya harus mengajar… tetapi juga harus siap menjadi korban salah paham yang tidak pernah ia ciptakan.”


Cerita ini bukan sekadar kisah seorang guru.
Ini adalah peringatan keras:

– kepada orang tua: tabayun sebelum menghukum,
– kepada kepolisian: jadikan keadilan sebagai fondasi, bukan sekadar prosedur,
– kepada kejaksaan: jangan biarkan kasus rapuh menghancurkan hidup orang,
– kepada masyarakat: belajar percaya sebelum menghakimi.

Karena ketika seorang guru tumbang oleh fitnah,
yang sebenarnya runtuh bukan dirinya…
melainkan masa depan anak-anak bangsa.

Selasa, 02 Desember 2025

Cerpen: oleh Ismilianto “Teguran Terakhir Bu Sumarni”

Cerpen: oleh Ismilianto


“Teguran Terakhir Bu Sumarni”

Pagi itu sekolah tampak biasa saja, tetapi di balik dinding tua ruang kelas IX-C, sesuatu yang kelam sedang tumbuh. Bu Sumarni, guru paling lama di sekolah itu—yang sudah mengajar lebih dari 27 tahun—mendapati seorang murid bernama Rangga sedang merokok di gudang belakang. Bukan hanya merokok, tetapi juga menantang.

“Bu… saya bayar SPP. Saya berhak santai. Jangan ikut ngatur!” ujar Rangga sambil membuang asap ke arah wajah Bu Sumarni.

Sorot mata Bu Sumarni berubah.
“Rangga! Ini sekolah, bukan tempat kau belajar menjadi preman!”

Teguran itu menjadi awal dari badai besar.


Siang itu Rangga pulang dan mengadu pada ayahnya, Pak Darwis.
Namun ia memutarbalikkan cerita.

“Pak… Bu Sumarni narik kerah saya, Pak. Dipermalukan di depan teman-teman! Saya trauma!”

Pak Darwis, yang selama ini egois dan mudah meledak, langsung murka.
“Guru macam apa itu?! Besok kau antar saya ke sekolah!”


Keesokan paginya, tanpa mengetuk pintu dan tanpa hormat, Pak Darwis langsung menerobos ruang guru.
Ia menunjuk Bu Sumarni seperti seorang algojo.

“Bu Guru! Anda menghina anak saya! Anda kasar! Anda pikir kami ini rakyat jelata yang bisa diperlakukan sesuka hati? Saya LAPORKAN Anda!”

Guru-guru lain terdiam.
Wajah Bu Sumarni pucat, tapi suaranya tetap tenang.

“Pak… saya tidak memukul. Saya hanya menegur karena Rangga merokok.”

“BOHONG!” teriak Pak Darwis.

Keributan itu direkam oleh beberapa murid, dan dalam hitungan menit video itu viral. Judulnya:
“Guru Kasar Pada Murid SMP!”

Masyarakat yang tidak tahu apa-apa ikut menghujat.
Komentar pedas mengalir seperti lava panas.
Nama Bu Sumarni tercabik-cabik.


Puncaknya terjadi dua hari kemudian.
Sebuah mobil patroli berhenti di depan sekolah.
Polisi turun.

“Bu Sumarni, mohon ikut kami untuk klarifikasi laporan,” kata seorang petugas.

Ia dibawa dengan langkah pelan, disaksikan puluhan murid yang terbelalak.
Beberapa bahkan menertawakan.

Rangga tersenyum kecil—sebuah senyum kemenangan yang tampak seperti setan kecil yang sedang tumbuh di balik wajah remaja.


Namun… tidak semua mata tertutup.
Ada seorang murid bernama Sari, teman sekelas Rangga.
Ia melihat kejadian sebenarnya saat di gudang.
Ia juga tahu Rangga yang berbohong.

Hatinya bergejolak.
Ia teringat pada tangan keriput Bu Sumarni yang selalu membetulkan jilbabnya, pada senyum lembut setiap pagi, pada kesabaran yang tidak dimiliki guru lain.

Malam itu Sari mengetuk pintu rumah Rangga.
Ayahnya membuka.

“Kamu mau apa?” tanya Pak Darwis.

Sari mengangkat tangan gemetar.
“Pak… saya harus bicara. Demi kebenaran.”

Ia menceritakan semua kejadian.
Setiap detil.
Setiap kata-kata kasar Rangga.
Setiap kebohongan.

Pak Darwis terdiam.
Tangan besar yang biasanya keras kini menggigil.
Ia menoleh pada Rangga.

“Benar yang dikatakan Sari?”

Rangga menunduk.
“Y… ya, Pak. Saya… saya takut dimarahi. Saya malu.”

Pak Darwis menahan napasnya seperti tertusuk belati.
Ia merasa menjadi pria yang paling hina di dunia.


Pagi berikutnya sebuah mobil berhenti di depan kantor polisi.
Turunlah Pak Darwis, Rangga, dan Sari.

Di dalam ruang pemeriksaan, Bu Sumarni duduk dengan mata merah.

Pak Darwis bersujud di hadapannya.
Sujud… sampai lantai basah oleh air matanya.

“Bu… maafkan saya. Saya salah besar. Bukan Ibu yang bersalah. Saya dibutakan oleh ego sebagai orang tua.”

Rangga pun menangis terisak.
“Saya… saya meminta maaf, Bu. Saya ingin berubah.”

Bu Sumarni tidak berkata apa-apa.
Ia hanya menepuk pelan bahu Rangga.

“Itu saja yang Ibu inginkan, Nak. Kau berubah.”


Setelah kasus dicabut, Bu Sumarni kembali mengajar.
Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Para murid mulai berdiri ketika ia masuk kelas.
Orang tua murid membuat kesepakatan baru untuk melindungi guru.
Rangga menjadi murid paling sopan dan paling rajin.

Dan nama Bu Sumarni—guru tua dengan hati seluas langit—menjadi simbol bahwa pendidikan hanya bisa hidup jika guru dihormati, murid beretika, dan orang tua rendah hati.


Pesan Cerita:
Ketika guru jatuh, bangsa ikut runtuh.
Ketika guru dijunjung, masa depan bangsa berdiri tegak.