Laqadja akum rasulum


web stats

Kamis, 08 Mei 2025

Komentar Bijak terhadap Isu Pelengseran Wapres Gibran

Komentar Bijak terhadap Isu Pelengseran Wapres Gibran

Dalam sistem demokrasi, setiap dinamika politik — termasuk kritik, gugatan hukum, hingga desakan untuk melengserkan pejabat — adalah hal yang mungkin terjadi. Namun demikian, umat Islam dan warga negara yang bijak tidak boleh mudah terprovokasi, apalagi terjebak pada opini yang memecah belah.

Jika memang ada pihak yang ingin melengserkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, maka hal itu harus ditempuh melalui jalur hukum yang sah, konstitusional, dan berlandaskan etika kebangsaan. Kita harus menjunjung tinggi prinsip:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak dan (menyuruh kalian) menetapkan hukum dengan adil..."
(QS. An-Nisa: 58)

Dalam menyikapi isu seperti ini, umat Islam hendaknya tidak bersikap reaktif, membakar emosi, atau menyebar narasi kebencian, melainkan:

  • Menjaga stabilitas bangsa dengan mencegah konflik horizontal.
  • Mengajak semua pihak untuk berpolitik secara dewasa, adil, dan tidak saling menjatuhkan tanpa dasar.
  • Mengawal proses hukum dan politik dengan semangat amar ma’ruf nahi munkar, tetapi tetap menjunjung ukhuwah dan persatuan bangsa.

Sebagaimana pesan Rasulullah SAW:

“Barang siapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan; jika tidak mampu, maka dengan lisan; jika tidak mampu juga, maka dengan hati — dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)

Artinya, perubahan dan kritik harus dilakukan dengan cara yang benar, bukan dengan fitnah atau provokasi.



NEGERI IMPIAN: BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR

NEGERI IMPIAN: BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR


Setiap insan mendambakan hidup di negeri yang aman, makmur, dan diberkahi. Sebuah negeri yang tak hanya sejahtera lahir, tetapi juga damai batin. Negeri seperti itulah yang digambarkan oleh Al-Qur’an sebagai:

"Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur" — “Negeri yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun.”
(QS. Saba: 15)

Frasa singkat ini bukan sekadar pujian bagi negeri Saba’ di masa silam, melainkan visi besar peradaban Islam. Sebuah gambaran tentang negeri ideal: subur, makmur, damai, penuh berkah, dan dipimpin oleh pemimpin yang takut kepada Allah.


MAKNA BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR

Baldatun thayyibah berarti negeri yang baik: tanahnya subur, udaranya bersih, sistemnya adil, dan masyarakatnya hidup saling menghormati.
Rabbun ghafur menegaskan bahwa negeri itu dipenuhi ampunan Allah, karena pemimpinnya tunduk kepada wahyu dan rakyatnya gemar beristighfar serta menjauhi maksiat.

Inilah negeri impian umat Islam. Dan untuk mewujudkannya, tidak cukup dengan doa — dibutuhkan peran aktif umat dalam membangun tatanan sosial, hukum, dan politik yang bersumber pada nilai-nilai Islam.


AL-QUR’AN DAN HADIS TENTANG NEGERI YANG DIBERKAHI

Allah menjanjikan keberkahan bagi bangsa yang beriman dan bertakwa:

"Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..."
(QS. Al-A’raf: 96)

Nabi Muhammad SAW juga mengaitkan keberkahan suatu negeri dengan keadilan dan kepemimpinan yang baik. Dalam hadis disebutkan:

"Sungguh, pemimpin kalian adalah cerminan dari kalian sendiri."
(HR. Abu Nu’aim, sanad hasan)

Artinya, jika rakyat saleh dan peduli pada kepemimpinan, Allah akan karuniakan pemimpin yang adil. Jika rakyat abai dan pasrah pada kezaliman, maka kepemimpinan akan menjadi alat kesengsaraan.


KISAH INSPIRATIF: NEGERI ISLAM YANG MENDEKATI VISI “BALDATUN”

Madinah di zaman Rasulullah SAW adalah contoh paling nyata. Ketika Rasulullah hijrah dan membangun peradaban di Madinah, beliau mendirikan negara berdasarkan:

  • Piagam Madinah yang menjamin keadilan lintas agama
  • Sistem zakat yang menyejahterakan rakyat
  • Kepemimpinan berasaskan wahyu

Hasilnya, Madinah menjadi negeri yang aman, makmur, dan dirahmati Allah. Bahkan orang-orang Yahudi dan non-Muslim pun merasa tenteram di bawah kepemimpinan Rasulullah.

Kisah lain datang dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pemimpin Bani Umayyah yang dikenal sangat adil dan zuhud. Di masa kepemimpinannya:

  • Hampir tidak ada orang yang mau menerima zakat karena sudah cukup
  • Keamanan luar biasa: orang bisa berjalan ribuan kilometer tanpa rasa takut
  • Negeri dipenuhi keberkahan

Inilah potret baldatun thayyibatun dalam sejarah Islam.


LANGKAH MENUJU NEGERI “BALDATUN”

Untuk membangun negeri seperti ini, umat Islam harus:

  • Menegakkan keadilan dan kejujuran dalam semua aspek kehidupan
  • Terlibat aktif dalam politik, pendidikan, dan ekonomi dengan nilai Islam
  • Memperkuat ukhuwah dan menjauhi perpecahan
  • Mendorong pemimpin yang saleh, adil, dan amanah
  • Menghidupkan budaya istighfar dan taubat dalam masyarakat

Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’d: 11).


PENUTUP: MENGGAPAI CITA-NEGERI QUR’ANI

Negeri impian bukanlah utopia. Ia pernah ada dan bisa terwujud kembali — jika umat Islam sungguh-sungguh memperjuangkannya.
Negeri yang tidak hanya menjanjikan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga kedamaian jiwa dan kelapangan ampunan dari Allah.

Maka jangan lelah mencintai negeri ini. Mari kita rawat tanah air dengan iman, bangun sistemnya dengan Islam, dan doakan agar negeri ini menjadi:

“Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” — negeri yang baik dan dirahmati Tuhan Yang Maha Pengampun.”

JIKA UMAT ISLAM TAK BERPOLITIK, SIAPA YANG MENJAGA NEGERI INI?

JIKA UMAT ISLAM TAK BERPOLITIK, SIAPA YANG MENJAGA NEGERI INI?


“Kalau orang baik tidak mau masuk politik, maka jangan salahkan kalau politik dikuasai oleh orang-orang yang tidak baik.”(Buya Hamka) 


Ketika umat Islam menganggap politik sebagai urusan duniawi yang kotor dan menjauh darinya, yang terjadi adalah kekuasaan berpindah tangan kepada mereka yang tidak takut kepada Allah dan tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Akibatnya, hukum dibuat berdasarkan kepentingan, bukan keadilan. Rakyat dibiarkan menderita, dan moral bangsa terpuruk.

Padahal Islam adalah agama yang menyeluruh (syamil)—tidak hanya mengatur ibadah pribadi, tetapi juga sistem sosial, ekonomi, dan politik. Al-Qur’an berbicara tentang kepemimpinan, hukum, dan amanah kekuasaan.


VISI POLITIK ISLAM: BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR

Allah SWT berfirman:

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..." (QS. Al-A’raf: 96)


Inilah visi tertinggi politik Islam: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur—sebuah negeri yang baik dan dirahmati Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. Saba: 15). Negeri seperti ini hanya terwujud bila pemimpinnya beriman, rakyatnya bertakwa, dan sistemnya berlandaskan wahyu.


AKIBAT JIKA UMAT ISLAM MENGHINDAR DARI POLITIK

1. Hukum tak lagi bersumber pada wahyu.

“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Ma’idah: 45)



2. Moral masyarakat rusak karena tak ada kontrol ilahi.
Sistem sekuler melahirkan kebijakan yang mengikis nilai-nilai akhlak, dari pendidikan sampai media.


3. Rakyat menjadi korban ketimpangan dan korupsi.
Umat Islam hanya menjadi penonton saat kebijakan tak berpihak pada keadilan sosial.


4. Umat kehilangan pengaruh di negeri sendiri.
Kekuasaan kosong dari nilai ilahi hanya melahirkan kerakusan.

KUTIPAN TOKOH & ULAMA TENTANG POLITIK ISLAM

Imam Al-Ghazali:
“Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi, dan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan hancur, dan penjaga tanpa pondasi akan runtuh.”



Syekh Yusuf Al-Qaradawi:
“Meninggalkan politik bagi umat Islam berarti menyerahkan kepemimpinan kepada orang-orang yang tidak peduli terhadap agama.”

JIKA UMAT ISLAM TAK BERPOLITIK, SIAPA YANG MENJAGA NEGERI KITA

JIKA UMAT ISLAM TAK BERPOLITIK, SIAPA YANG MENJAGA NEGERI KITA


Sebagian dari kita masih berpikir bahwa politik itu kotor, penuh intrik, dan tak pantas disentuh oleh orang-orang yang ingin menjaga kesucian agama. Karena itu, tak sedikit umat Islam yang menjauh dari dunia politik, memilih menjadi penonton atau sekadar pengamat.

Namun mari kita renungkan: jika umat Islam enggan terlibat dalam politik, lalu siapa yang akan memimpin bangsa ini? Siapa yang akan menjaga agar hukum, kebijakan, dan arah pembangunan negeri tidak bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qur’an? Dan jika kekuasaan dipegang oleh mereka yang tak takut kepada Allah, sanggupkah kita mencegah kezaliman?

Islam Bukan Hanya Agama Ibadah

Islam tidak hanya mengatur shalat dan puasa, tetapi juga mengajarkan bagaimana memimpin, menegakkan keadilan, mengelola harta negara, hingga membangun masyarakat yang bermartabat. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil."
(QS. An-Nisa: 58)

Amanat itu mencakup kekuasaan dan jabatan publik. Menegakkan keadilan adalah perintah agama, dan tak akan terwujud jika umat Islam menjauhi panggung kekuasaan.

Dampak Serius Jika Umat Islam Tidak Terlibat Politik

Pertama, hukum negara tidak lagi bersumber pada nilai wahyu.
Jika pemimpin tidak menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pijakan, maka hukum bisa disusun hanya berdasarkan kepentingan duniawi, bahkan tekanan asing. Allah memperingatkan:

"Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
(QS. Al-Ma’idah: 45)

Kedua, sistem yang berlaku bisa merusak moral bangsa.
Kebijakan pendidikan, media, budaya, hingga ekonomi akan mengabaikan nilai-nilai Islam. Akibatnya, generasi muda tumbuh jauh dari akhlak Qur’ani. Tanpa pemimpin yang bermoral, rakyat kehilangan arah.

Ketiga, umat Islam akan terus menjadi korban sistem yang tak adil.
Tanpa kekuatan politik, umat tak punya posisi tawar. Mereka mudah dipinggirkan dalam kebijakan, padahal jumlahnya mayoritas. Ini adalah bentuk ketertindasan struktural yang seharusnya bisa dicegah jika umat bersatu dan cerdas dalam politik.

Keempat, kekuasaan jatuh ke tangan yang salah.

"Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka..."
(QS. Hud: 113)

Menyerahkan kekuasaan kepada yang tidak amanah tanpa usaha mengubahnya, adalah bentuk kelalaian kolektif. Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan..."
(HR. Muslim)

Dalam konteks modern, mengubah kemungkaran dengan tangan bisa berarti menggunakan hak suara, menjadi legislator, mendidik pemimpin yang saleh, atau bahkan mencalonkan diri untuk menegakkan nilai Islam melalui sistem negara.

Politik adalah Wadah Perjuangan, Bukan Rebutan Dunia

Dalam sejarah Islam, para nabi bukan hanya guru rohani, tetapi juga pemimpin masyarakat. Nabi Muhammad SAW adalah kepala negara di Madinah. Para khalifah sesudah beliau—Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali—menggabungkan kepemimpinan spiritual dan politik dalam satu kepemimpinan yang adil.

Umat Islam semestinya meneladani ini. Terjun dalam politik bukan demi kedudukan, tetapi demi menegakkan amar makruf nahi munkar di tingkat kebijakan. Bahkan mendukung calon pemimpin yang saleh dan amanah pun adalah bagian dari tanggung jawab keumatan.

Saatnya Bangkit dan Memperjuangkan Negeri Ini

Kita tidak ingin negeri ini dipimpin oleh tangan-tangan yang memusuhi agama, yang tidak peduli kepada nasib rakyat, dan yang menyusun undang-undang berdasarkan hawa nafsu. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh diam. Diam berarti menyerahkan negeri ini pada potensi kezaliman.

Saatnya umat Islam bangkit: cerdas memilih pemimpin, mendukung gerakan politik yang jujur, membina kader pemimpin masa depan, dan jika mampu, ambil peran langsung. Jika kita ingin negeri ini diberkahi, maka kita harus menjaga agar orang-orang berimanlah yang memegang tampuk kekuasaan.

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi..."
(QS. An-Nur: 55)

Janji itu hanya akan terwujud jika kita tidak berpangku tangan. Politik bukan urusan kotor—politik adalah ladang amal jika diniatkan untuk kebaikan.



POLITIK ISLAMI: ANTARA AMANAH DAN KEADILAN

POLITIK ISLAMI: ANTARA AMANAH DAN KEADILAN

1. QS. An-Nisa: 58

"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak..."

Uraian:
Ayat ini adalah prinsip utama dalam politik Islam. Kepemimpinan adalah amanah besar yang harus diberikan kepada orang yang berhak dan mampu, bukan karena suku, uang, atau kekuasaan.


2. QS. An-Nisa: 58 (lanjutan)

"...dan apabila kalian memutuskan perkara di antara manusia, putuskanlah dengan adil."

Uraian:
Keadilan adalah fondasi kepemimpinan. Dalam Islam, penguasa harus menegakkan hukum dengan adil, tidak berat sebelah, dan tidak tunduk pada kepentingan pribadi atau kelompok.


3. QS. Shad: 26

"Wahai Dawud, sesungguhnya Kami jadikan engkau khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan kebenaran."

Uraian:
Ayat ini menegaskan bahwa pemimpin (khalifah) adalah wakil Allah dalam mengatur bumi. Tugas utamanya bukan mencari kuasa, tapi menegakkan kebenaran dan keadilan.


4. Hadis (HR. Bukhari & Muslim)

"Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."

Uraian:
Kepemimpinan dalam Islam bersifat tanggung jawab, bukan hak istimewa. Seorang pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya di hadapan Allah.


5. Hadis (HR. Bukhari & Muslim)

"Janganlah kamu meminta kepemimpinan. Jika diberi karena permintaanmu, kamu akan ditinggalkan. Tapi jika diberi tanpa memintanya, kamu akan ditolong oleh Allah."

Uraian:
Islam mencegah ambisi kekuasaan yang tidak tulus. Jabatan seharusnya diberikan kepada yang layak dan ikhlas, bukan kepada mereka yang mengejarnya demi kepentingan pribadi.


6. Hadis (HR. Bukhari & Muslim)

"Tujuh golongan mendapat naungan Allah di hari tiada naungan selain naungan-Nya, salah satunya adalah pemimpin yang adil."

Uraian:
Keadilan seorang pemimpin sangat tinggi nilainya di sisi Allah. Dalam kondisi sulit, kepemimpinan yang adil menjadi sumber rahmat bagi masyarakat.


7. QS. Hud: 113

"Dan jangan condong kepada orang-orang zalim, nanti kalian disentuh api neraka."

Uraian:
Umat Islam dilarang mendukung kezaliman, termasuk dalam politik. Memilih atau membiarkan pemimpin zalim berkuasa berarti ikut menanggung dosanya.


8. Hadis (HR. Bukhari & Muslim)

"Siapa yang memimpin rakyat lalu menipu mereka, maka Allah haramkan surga baginya."

Uraian:
Kepemimpinan yang menipu rakyat adalah pengkhianatan besar dalam Islam. Akibatnya bukan hanya di dunia, tapi juga siksaan akhirat.



Hadis Nabi Muhammad SAW yang Berkaitan dengan Politik Islam

Hadis Nabi Muhammad SAW yang Berkaitan dengan Politik Islam

1. Amanah Kepemimpinan

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Kullukum ra’in wa kullukum mas’ūlun ‘an ra’iyyatihi

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Makna: Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, bukan sekadar jabatan atau kekuasaan.

2. Larangan Meminta-Minta Jabatan

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ! لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُعْطِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

“Wahai Abdurrahman! Jangan kamu meminta kepemimpinan, karena jika kamu diberi karena permintaanmu, maka kamu akan ditinggalkan (tanpa pertolongan Allah); tapi jika kamu diberi tanpa memintanya, maka kamu akan ditolong dalam mengembannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Makna: Politik dalam Islam bukan sarana mencari kekuasaan, tapi amanah yang berat, maka tidak layak dikejar dengan ambisi pribadi.

3. Pemimpin Adil Diberi Naungan di Hari Kiamat

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ... وَإِمَامٌ عَادِلٌ...

“Ada tujuh golongan yang akan Allah naungi dalam naungan-Nya pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya, salah satunya adalah pemimpin yang adil...”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Makna: Keadilan adalah prinsip utama dalam politik Islam. Pemimpin yang adil dijanjikan kedudukan istimewa di akhirat.

4. Bahaya Pengkhianatan dalam Kekuasaan

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ، إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

"Tidaklah seorang hamba yang diberi amanah untuk memimpin rakyat oleh Allah, kemudian ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan surga baginya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Makna: Kepemimpinan yang dipenuhi pengkhianatan dan tipu daya adalah jalan menuju murka Allah.

 

Rabu, 07 Mei 2025

Jejak Langkah Kakanda(Untuk Kakanda Iduanto bin Aliman di usia 60 tahun)

Jejak Langkah Kakanda

(Untuk Kakanda Iduanto bin Aliman di usia 60 tahun)

Di dusun kecil, di pelipir sungai,
kami tumbuh—bukan di istana, tapi di peluh pagi.
Petang dan subuh kami lalui,
mengejar ikan di arus yang tak henti.

Pulang sekolah, bukan tidur yang kami cari,
tapi bubu mungkus yang kami angkut hati-hati.
Setiap rawis kami pasang dengan harap,
agar petang nanti ada rezeki yang menatap.

Di samping itu, tangan-tangan kecil kami
menempa pisau dan sengkuit dari logam sepi.
Dijual di pekan Sabtu,
untuk membantu hidup yang tak pernah mengeluh.

Dan saat hujan menepi dari tanah liat,
kami mencetak bata demi bata—
bukan untuk istana kami sendiri,
tapi untuk kakak kami yang belajar di negeri.

Sesekali kami temalam di kebun,
dengan bintang sebagai atap,
dan embun jadi teman.
Pagi-pagi buta, kami berlari ke dusun,
agar tetap bisa belajar meski mata masih menyimpan kantuk.

Lalu waktu pun mengayuh kami ke jalan berbeda,
Kakanda ke Jakarta, aku tetap di kota kelahiran.
Ia meniti tangga pengusaha dengan tapak yang tak bising,
aku menyelesaikan pengabdian sebagai PNS rendahan—
dengan hati yang tenang, karena tahu
kami berdua telah berusaha sebaik mungkin
dalam jalan yang kami tempuh masing-masing.

Hari ini, Kakanda genap enam puluh,
bukan usia biasa,
ini usia syukur,
usia arif,
usia emas yang berkilau bukan karena kemewahan,
tapi karena nilai dan perjuangan.

Ya Allah…
Usia ini, karuniakan ia cahaya yang jernih,
tubuh yang sehat,
jiwa yang lapang.
Buka pintu rezekinya dari arah yang tak terduga,
dan izinkan ia menjadi pohon rindang bagi keluarga dan sesama.
Jadikan akhir hidupnya dalam husnul khatimah,
dan seluruh langkahnya Engkau berkahi hingga surga.

Selamat ulang tahun, Kakanda.
Dalam riwayat hidupmu,
tersimpan hikmah yang akan kami warisi selamanya.