Cerpen: oleh Ismilianto
Aib yang Kau Seret, Kebaikan yang Kau Kubur
Di sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang lelaki bernama Hamdan. Ia bukan orang jahat, bukan juga orang sempurna. Ia hanya manusia biasa—punya kekurangan, punya kebaikan, dan punya masa lalu yang tak ingin ia buka.
Namun ada satu sosok yang sangat membencinya: Sahri, tetangganya sendiri.
Sahri memiliki kebiasaan buruk:
Ia suka menyebutkan kekurangan Hamdan di mana pun ia duduk.
Di warung kopi, di masjid, di sawah, bahkan di acara keluarga.
“Hamdan itu orangnya begini…”
“Hamdan itu pernah begini…”
“Hamdan itu dulu….”
Semua orang sudah hafal.
Aib Hamdan diseret dari mulut Sahri seperti barang murahan.
Namun satu hal yang tak pernah ia sebutkan:
kebaikan Hamdan.
Padahal orang-orang tahu…
Hamdan sering membantu janda-janda tua,
sering menalangi beras tetangga,
sering memperbaiki rumah orang tanpa dibayar.
Tapi semua itu tak pernah keluar dari lisan Sahri.
Hati Hamdan terluka.
Namun ia memilih diam,
karena ia pernah belajar satu hadis:
“Barangsiapa menutupi aib saudaranya, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim)
Dan ia memegang hadis itu seperti memegang cahaya di gelap malam.
Hingga datang hari itu…
Satu pagi, seluruh desa digemparkan.
Anak lelaki Sahri kedapatan mencuri uang kas masjid.
Orang-orang marah, ingin memanggil aparat, ingin mempermalukan keluarga Sahri.
Masyarakat berkumpul,
suasana panas,
bisik-bisik penuh kemarahan.
Sahri pucat, tak bisa mengangkat wajah.
Ia merasa seluruh dunia menimpa dadanya.
Tiba-tiba, seseorang datang dari arah masjid.
Laki-laki itu melangkah tenang, membawa map coklat.
Dialah Hamdan.
Semua mata tertuju kepadanya.
Sahri ketakutan—mungkin inilah saat balas dendam itu datang.
Ia menunduk, menahan air mata.
Hamdan membuka map itu.
Isinya… rekaman CCTV.
Semua orang menahan napas.
Tapi kemudian Hamdan berkata dengan suara lembut,
namun tegas seperti embun yang jatuh di atas batu:
“Sebelum kalian melihat videonya…
aku ingin mengatakan sesuatu.
Kita semua bukan malaikat.
Anak ini salah, tapi bukan berarti masa depannya harus hancur.
Aku mohon—jangan seret aibnya ke hadapan dunia,”
katanya sambil menatap warga satu per satu.
Lalu ia melanjutkan:
“Bagaimana jika itu terjadi pada anak kalian?
Pada cucu kalian?
Apa yang kalian harapkan selain belas kasih?”
Suara desa menjadi senyap.
Angin pun seperti berhenti.
Hamdan menutup map itu perlahan.
“Aku sudah bicara dengan pengurus masjid.
Uang sudah diganti.
Anak ini sudah meminta maaf.
Biarkan kami selesaikan ini secara keluarga.
Jangan ada yang disebarkan.
Jangan ada yang diumbar.”
Warga saling pandang.
Kemarahannya padam.
Sebagian meneteskan air mata.
Sahri memandang Hamdan dengan tubuh gemetar.
Tak sanggup berkata apa-apa.
Aibnya baru saja diselamatkan…
oleh orang yang selama ini ia jatuhkan.
Malam itu…
Sahri datang ke rumah Hamdan.
Tak kuat menahan air mata,
ia bersimpuh di depan lelaki yang pernah ia hina habis-habisan.
“Aku… aku sudah merusak kehormatanmu.
Aku sebarkan aibmu.
Tapi hari ini engkau selamatkan kehormatanku.
Kenapa, Dan… kenapa engkau lakukan itu?”
Hamdan menatapnya lembut.
Ada kejernihan di matanya yang menenangkan.
“Karena aku takut Allah membukakan aibku
sebagaimana engkau membukakan aibku di hadapan manusia,”
jawab Hamdan.
Lalu ia menambahkan pelan:
“Sahri… manusia selalu punya dua sisi.
Jika kau mencari aib, kau akan menemukannya.
Jika kau mencari kebaikan, kau juga akan menemukannya.
Tapi Allah akan memperlakukanmu sesuai apa yang kau cari pada manusia.”
Sahri menangis.
Hatinya runtuh, gengsinya hancur,
dan ia merasa kecil di hadapan lelaki yang jauh lebih mulia darinya.
Malam itu, ia berjanji:
tidak akan pernah lagi membuka aib siapa pun.
Karena ia telah merasakan langsung…
betapa berharganya orang yang menutup aib,
dan betapa pedihnya menjadi pelaku yang membuka aib.
Akhir Cerita – Pelajaran untuk Kita Semua
Saudaraku…
Di dunia yang ramai dengan gosip, celaan, dan fitnah,
kita membutuhkan lebih banyak Hamdan:
orang yang menutupi,
bukan mengumbar.
Karena manusia paling mulia bukan yang tajam melihat kekurangan,
tetapi yang lembut menyingkap kebaikan.
Dan ingatlah—
di Hari Kiamat nanti,
kita akan sangat membutuhkan Allah
untuk menutupi aib kita.
Maka tutuplah aib manusia,
agar Allah menutup aibmu kelak
pada hari ketika tidak ada pena yang bisa membohongi,
dan tidak ada lisan yang bisa berkelit.