Warisan Orang Beriman
Suatu sore, ketika matahari turun perlahan di balik pepohonan, aku melihat pemandangan yang menyejukkan hati.
Anak-anak kami duduk melingkar di ruang tengah, membaca Al-Qur’an dengan suara lembut. Istriku duduk di samping mereka, sesekali membetulkan makhraj dan tajwidnya. Di antara ayat yang mereka baca, ada gema yang terasa hidup di dinding rumah kami — gema yang seolah berkata:
“Inilah cahaya dari surga yang sedang tumbuh.”
Aku tersenyum pelan. Dalam keheningan itu aku sadar — inilah tujuan sejati dari rumah tangga: melahirkan anak-anak yang bercahaya, bukan hanya cerdas otaknya, tapi lembut hatinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”(QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini seperti perintah yang penuh cinta.
Bukan hanya agar anak kita selamat, tapi agar rumah menjadi madrasah iman, tempat mereka belajar bukan sekadar “apa yang benar”, tapi “mengapa harus benar”.
Aku pernah bertanya pada seorang ulama sepuh,
“Bagaimana caranya menanamkan iman pada anak-anak agar tidak layu di tengah badai zaman?”
Beliau menjawab dengan senyum yang teduh,
“Jangan hanya ajari mereka tentang Allah, tapi hadirkan Allah dalam keseharian di rumahmu.”
Kata-kata itu membekas dalam dadaku. Maka kami mulai dari hal kecil — mengucap Bismillah setiap membuka pintu, Alhamdulillah setiap selesai makan, dan Astaghfirullah setiap marah datang.
Dari kebiasaan kecil itulah, iman menetes lembut ke dalam jiwa mereka.
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih utama daripada akhlak yang baik.”(HR. Tirmidzi)
Aku pun teringat kisah Luqmanul Hakim yang menasihati putranya dengan bijak, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an:“Wahai anakku, dirikanlah salat, suruhlah berbuat yang ma’ruf, cegahlah dari yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu...”(QS. Luqman: 17)
Setiap kali aku membaca ayat itu, hatiku bergetar.
Aku ingin kelak anak-anakku menjadi penegak kebaikan, bukan pengejar dunia semata.
Suatu malam, ketika listrik padam, kami duduk di bawah cahaya lilin. Istriku mulai bercerita tentang Nabi Yusuf — bagaimana beliau diuji dengan fitnah dan kesepian, tapi tetap menjaga kehormatan dan iman. Anak-anak mendengarkan dengan mata berbinar.
Ketika kisah itu selesai, si bungsu bertanya polos,
“Ayah… kalau aku sabar seperti Nabi Yusuf, apakah Allah juga akan menolong aku, ya?”
Aku menatap matanya dan menjawab pelan,
“Ya, Nak. Asal engkau jujur dan tidak putus harap dari Allah, maka pertolongan-Nya pasti datang.”
Malam itu, aku menangis dalam hati. Aku tahu, tak ada warisan paling berharga selain anak yang mengenal Tuhannya.
Karena Rasulullah saw telah bersabda:“
Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”(HR. Muslim)
Itulah sebabnya, aku dan istriku bertekad menjadikan rumah ini ladang doa yang terus berbuah meski nantinya kami telah tiada.
Setiap kali anak-anak salat berjamaah, kami ingin malaikat mencatat: “Ini hasil didikan yang tulus.”
Setiap kali mereka menolong orang lain, kami berharap Allah berfirman: “Ini amal yang tak putus dari rumah yang beriman.”
Maka, aku ingin menulis pesan ini di dinding hati setiap ayah dan ibu di dunia:
“Didiklah anak-anakmu bukan untuk zamanmu, tapi untuk zaman yang akan datang — dan tanamkan di dalamnya cinta kepada Allah yang tak akan lekang oleh waktu.”
Dan ketika suatu hari mereka dewasa dan pergi, aku ingin rumah ini tetap bergetar oleh doa mereka. Karena sejatinya, anak-anak yang beriman adalah cermin dari cinta suami-istri yang memelihara rumahnya dengan iman dan pengorbanan.
Semoga kita semua selalu ditolong Alloh untuk menebar kebaikan antar sesama, aamiin ya rabbal alamiin.