Permintaan Rasulullah Kepada Allah saat Isra’ dan Mi’raj
Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya menjelaskan, bahwa ketika Allah memberikan kekuatan kepada Rasulullah untuk bisa melihat-Nya, di saat itu pula ia langsung tersungkur kemudian bersujud kepada-Nya, sebagai sujud syukur dan penghormatan.
Isra dan Mi'raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad menjadi momentum khusus baginya untuk semakin memperkuat keimanan dan keyakinan dengan risalah dan ajaran yang dibawanya. Pada peristiwa itu, Allah swt tidak hanya memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya Yang Agung, akan tetapi Allah juga memberikan keistimewaan kepada Rasulullah untuk bisa melihat-Nya. Permintaan Rasulullah Syekh Nawawi Banten dalam salah satu kitabnya menjelaskan, bahwa ketika Allah memberikan kekuatan kepada Rasulullah untuk bisa melihat-Nya, di saat itu pula ia langsung tersungkur kemudian bersujud kepada-Nya, sebagai sujud syukur dan penghormatan. Di saat yang bersamaan, Rasulullah berkata: لَبَّيْكَ يَا رَبِّ Artinya, “Aku memenuhi panggilanmu, wahai Tuhan.” Allah berkata kepadanya, سَلْ تُعْطَى Artinya, “Mintalah, engkau akan diberi (apa yang diminta).” Kisah ini menjadi sebuah renungan, siapa saja yang sudah memiliki derajat yang dekat dengan Allah, maka Allah akan memberikan semua yang diminta olehnya. Namun, apakah yang Rasulullah minta saat itu? Menurut Syekh Nawawi Banten, ketika Allah memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meminta apa saja yang dia inginkan, Rasulullah kemudian berkata, “Ya Allah, Engkau telah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai kekasih, dan Engkau telah berbicara dengan Nabi Ibrahim, memberikan Nabi Sulaiman kerajaan besar yang tidak akan pernah ada kerajaan sebelum dan sesudahnya yang sebanding dengannya, Engkau juga melunakkan besi yang keras dan menunddukkan manusia, jin, setan, dan angin-angin kepadanya, Engkau tundukkan, Engkau mengajarkan kitab Taurat dan Injil kepada Nabi Isa, dan Engkau menjadikannya sebagai penolong orang buta, dan mampu menghidupkan orang mati atas izin-Mu.” Setelah semua itu disampaikan kepada Allah, Dia langsung berkata kepada Nabi Muhammad, “Sungguh, Aku telah menjadikanmu sebagai kekasih, Aku mengutusmu kepada semua makhluk sebagai pembawa kabar gembira berupa pahala, dan kabar menakutkan berupa siksa. Aku telah membelah dadamu dan meletakkan kebaikan di dalamnya, mengangkat derajatmu, dan Aku jadikan umatmu sebagai umat pilihan, Aku juga menjadikan umatmu sebagai golongan pertama yang dibangunkan dari kubur, orang pertama yang akan dihisab, melewati shirathal mustaqim, dan masuk surga sekalipun mereka adalah umat terakhir dalam penciptaan,” “Aku juga menjadikan umatmu sebagai umat yang dalam hatinya selalu tertanam ajaran Al-Qur’an, memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan. Aku juga menjadikanmu sebagai nabi pertama dalam penciptaan (nur Muhammad), dan nabi terakhir yang diutus. Aku memberikanmu as-Sab’u minal Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang) yang tidak pernah diberikan kepada nabi-nabi selainmu. Aku juga memberikan telaga Kautsar kepadamu,” “Aku memberikanmu delapan kebaikan kepadamu; (1) Islam; (2) hijrah (dari Makkah ke Madinah); (3) jihad; (4) sedekah; (5) shalat; (6) puasa Ramadhan; (7) memerintah kebaikan; dan (8) melarang keburukan. Aku menjadikanmu sebagai pembuka dalam setiap kebaikan, dan sebagai penutup bagi para nabi. Aku juga memberimu bendera, maka para nabi yang lain ada di bawah benderamu.” “Dan, sungguh sejak Aku menciptakan langit dan bumi, telah aku wajibkan kepadamu dan umatmu lima puluh shalat dalam setiap hari dan malam, maka kerjakanlah olehmu dan umatmu.” (Syekh Nawawi Banten, Nuruz Zhalam Syarah Manzhumati ‘Aqidatil ‘Awam, [Darul Hawi: 1416 H/1996 M], halaman 152). Menurut Imam Abul Fida’ Ismail bin Umar yang lebih populer (popular) dengan sebutan Imam Ibnu Katsir ad-Dimisyqi (wafat 774 H), setelah peristiwa itu kedua mata Rasulullah terhalangi oleh awan, kemudian malaikat Jibril mengambil tangannya dan pergi dengan cepat. Sejurus kemudian, ia menemui Nabi Ibrahim as, akan tetapi Ibrahim tidak berkata sedikit pun kepadanya, dan selanjutnya menemui Nabi Musa as. Dari sinilah kisah kewajiban shalat lima puluh waktu menjadi lima waktu. Nabi Musa dan Shalat Lima Waktu Setelah Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Musa, ia bertanya tentang apa saja didapatkan olehnya. Kemudian Rasulullah menjawab bahwa dirinya telah mendapatkan perintah kewajiban shalat sebanyak lima puluh dalam setiap hari dan malam. Mendengar jawaban itu, Nabi Musa langsung berkata, فَلَنْ تَسْتَطِيْعَهَا أَنْتَ وَلَا أُمَّتُكَ، فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ أَنْ يُخَفِّفَّ عَنْكَ Artinya,” Maka engkau dan umatmu tidak akan mampu mengerjakannya. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah kepada-Nya untuk memberi keringanan bagimu.” Atas saran Nabi Musa tersebut, Rasulullah kembali mendatangi Allah dengan malaikat Jibril untuk memohon keringanan atas perintah shalat yang banyak itu. Sesampainya di hadapan Allah, Nabi Muhammad kembali tersungkur kemudian bersujud kepadanya dan berkata, رَبِّ، إِنَّكَ فَرَضْتَ عَليَّ وَعَلَى أُمَّتِي خَمْسِيْنَ صَلَاةً، وَلَنْ أَسْتَطِيْعَهَا أَنَا وَلَا أُمَّتِي، فَخَفِّفْ عَنَّا Artinya, “Tuhanku, sungguh Engkau telah mewajibkan kepadaku dan umatku lima puluh shalat, dan aku tidak akan mampu (melakukannya) begitu juga dengan umatku, maka (berilah) keringanan kepada kami.” Setelah Rasulullah memohon keringanan, kewajiban yang awalnya lima puluh, Allah hilangkan sepuluh menjadi empat puluh (ada pula riwayat yang mengatakan empat puluh lima). Setelah mendapatkan keringanan, kedua mata Rasulullah terhalangi oleh awan, kemudian malaikat Jibril mengambil tangannya dan pergi dengan cepat. Ketika Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Musa, ia kembali menyuruhnya untuk kembali menghadap Allah, dan memohon keringanan shalat, karena tidak akan mampu melakukan semua itu. Kisah ini terus berlanjut hingga akhirnya dari lima puluh menjadi lima waktu. Setelah kewajiban shalat yang diterima Nabi Muhammad menjadi lima waktu, lagi-lagi Nabi Musa menyuruhnya untuk kembali dengan alasan yang sama, tidak akan mampu. Akan tetapi, saat itu Rasulullah menjawab, إِنِّي قَدْ اِسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ تَعَالَى Artinya, “Sungguh aku malu kepada-Nya Yang Luhur.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Adzim, [Dar ath-Thayyibah: 1999 M/1420 h], juz V, halaman 14). Senyum Malaikat Malik Shalat lima waktu menjadi momentum terakhir bagi Rasulullah dengan Allah sebelum pulang menuju Makkah. Dalam perjalanannya, tak sesekali ia tanyakan kepada malaikat Jibril perihal sesuatu yang ia temukan. Di antaranya adalah tertawanya malaikat Malik. Rasulullah mengatakan kepada Jibril, “Saya tidak mendatangi setiap tempat kecuali semuanya gembira menyambutku dan tersenyum kepadaku. Kecuali seseorang, saya menyampaikan salam kepadanya, kemudian ia menjawab sambil tersenyum dan setelah itu tidak lagi tersenyum. Siapakah dia wahai Jibril?” Malaikat Jibril menjawab, “Wahai Muhammad, dia adalah malaikat Malik, penjaga neraka Jahannam. Dia tidak pernah tersenyum sejak pertama kali diciptakan kecuali ketika bertemu denganmu.” Demikian kisah permintaan Rasulullah kepada Allah saat peristiwa Isra’ Mi’raj hingga perjalanan pulang menuju Makkah. Kisah ini memberikan sebuah teladan, bahwa siapa pun yang sudah memiliki kedekatan secara khusus dengan Allah, maka apa saja yang ia minta akan diberikan oleh-Nya.