Laqadja akum rasulum


web stats

Minggu, 19 Oktober 2025

cerpen Warisan Orang Beriman

Warisan Orang Beriman


Suatu sore, ketika matahari turun perlahan di balik pepohonan, aku melihat pemandangan yang menyejukkan hati.
Anak-anak kami duduk melingkar di ruang tengah, membaca Al-Qur’an dengan suara lembut. Istriku duduk di samping mereka, sesekali membetulkan makhraj dan tajwidnya. Di antara ayat yang mereka baca, ada gema yang terasa hidup di dinding rumah kami — gema yang seolah berkata:

“Inilah cahaya dari surga yang sedang tumbuh.”

Aku tersenyum pelan. Dalam keheningan itu aku sadar — inilah tujuan sejati dari rumah tangga: melahirkan anak-anak yang bercahaya, bukan hanya cerdas otaknya, tapi lembut hatinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”(QS. At-Tahrim: 6)

Ayat ini seperti perintah yang penuh cinta.
Bukan hanya agar anak kita selamat, tapi agar rumah menjadi madrasah iman, tempat mereka belajar bukan sekadar “apa yang benar”, tapi “mengapa harus benar”.


Aku pernah bertanya pada seorang ulama sepuh,
“Bagaimana caranya menanamkan iman pada anak-anak agar tidak layu di tengah badai zaman?”
Beliau menjawab dengan senyum yang teduh,

“Jangan hanya ajari mereka tentang Allah, tapi hadirkan Allah dalam keseharian di rumahmu.”

Kata-kata itu membekas dalam dadaku. Maka kami mulai dari hal kecil — mengucap Bismillah setiap membuka pintu, Alhamdulillah setiap selesai makan, dan Astaghfirullah setiap marah datang.
Dari kebiasaan kecil itulah, iman menetes lembut ke dalam jiwa mereka.

Rasulullah SAW juga bersabda:

“Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih utama daripada akhlak yang baik.”(HR. Tirmidzi)


Aku pun teringat kisah Luqmanul Hakim yang menasihati putranya dengan bijak, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an:“Wahai anakku, dirikanlah salat, suruhlah berbuat yang ma’ruf, cegahlah dari yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu...”(QS. Luqman: 17)


Setiap kali aku membaca ayat itu, hatiku bergetar.
Aku ingin kelak anak-anakku menjadi penegak kebaikan, bukan pengejar dunia semata.

Suatu malam, ketika listrik padam, kami duduk di bawah cahaya lilin. Istriku mulai bercerita tentang Nabi Yusuf — bagaimana beliau diuji dengan fitnah dan kesepian, tapi tetap menjaga kehormatan dan iman. Anak-anak mendengarkan dengan mata berbinar.
Ketika kisah itu selesai, si bungsu bertanya polos,
“Ayah… kalau aku sabar seperti Nabi Yusuf, apakah Allah juga akan menolong aku, ya?”

Aku menatap matanya dan menjawab pelan,

“Ya, Nak. Asal engkau jujur dan tidak putus harap dari Allah, maka pertolongan-Nya pasti datang.”

Malam itu, aku menangis dalam hati. Aku tahu, tak ada warisan paling berharga selain anak yang mengenal Tuhannya.

Karena Rasulullah saw telah bersabda:

Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.”(HR. Muslim)


Itulah sebabnya, aku dan istriku bertekad menjadikan rumah ini ladang doa yang terus berbuah meski nantinya kami telah tiada.

Setiap kali anak-anak salat berjamaah, kami ingin malaikat mencatat: “Ini hasil didikan yang tulus.”
Setiap kali mereka menolong orang lain, kami berharap Allah berfirman: “Ini amal yang tak putus dari rumah yang beriman.”

Maka, aku ingin menulis pesan ini di dinding hati setiap ayah dan ibu di dunia:

“Didiklah anak-anakmu bukan untuk zamanmu, tapi untuk zaman yang akan datang — dan tanamkan di dalamnya cinta kepada Allah yang tak akan lekang oleh waktu.”

Dan ketika suatu hari mereka dewasa dan pergi, aku ingin rumah ini tetap bergetar oleh doa mereka. Karena sejatinya, anak-anak yang beriman adalah cermin dari cinta suami-istri yang memelihara rumahnya dengan iman dan pengorbanan.

Semoga kita semua selalu ditolong Alloh untuk menebar kebaikan antar sesama, aamiin ya rabbal alamiin. 



cerpen Doa Dan Ampunan Di Rumah

Doa Dan Ampunan Di Rumah


Pagi itu, rumah kami terasa berbeda. Tidak ada suara, tak ada percakapan. Hanya lantunan ayat Al-Qur’an dari ruang tengah yang menembus lembut ke dada. Suara istriku sedang membaca Surah Yasin setelah Subuh, sementara aroma kopi hitam perlahan mengisi udara.

Saat itulah aku sadar, inilah ketenangan yang dulu aku cari ke mana-mana. Bukan di luar rumah, bukan dalam harta, tapi dalam rumah yang diisi doa dan pengampunan.

Allah berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu kasih dan sayang.”(QS. Ar-Rum: 21)

Ayat ini terasa hidup di depan mataku. Kasih sayang bukan hanya kata-kata indah di surat nikah, tapi rasa tenteram yang tumbuh dan saling memaafkan. 

Aku teringat sabda Rasulullah saw:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”(HR. Tirmidzi)

Sejak itu, aku bertekad menjadikan rumah ini tempat pengampunan, bukan penghakiman. Setiap kesalahan yang kecil tidak perlu diperbesar, dan setiap kebaikan kecil harus dihargai. 

Aku lalu membaca,

“Rabbi habli minash-shalihin.”(Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku keturunan yang saleh.(QS. As-Saffat: 100) 

Istriku menimpali dengan doa pelan,“Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrata a’yun, waj‘alna lil muttaqina imama.”(Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan hati, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa.) QS. Al-Furqan: 74

Doa itu menjadi jantung rumah kami. Ia mengalirkan ketenangan di rumah. 

Pernah suatu hari, anak kami sakit. Istriku panik, aku pun cemas. Tapi di tengah kepanikan, aku melihatnya menengadahkan tangan dan berbisik pelan,

“Hasbunallahu wa ni‘mal wakil.”(Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dia sebaik-baik pelindung.)


Aku menatapnya lama. Di saat itu aku sadar — ternyata keimanan istri bisa menjadi benteng terkuat di rumah tangga.

Rumah kami memang sederhana. Tapi setiap sudutnya memantulkan cahaya doa. Dan di situlah aku mengerti makna sabda Nabi saw: 

“Apabila rumah-rumah kalian dibacakan Al-Qur’an, maka akan luaslah penghuninya, dihindarkan dari gangguan setan, dan bercahaya bagi langit seperti bintang bagi penduduk bumi.”(HR. Ad-Dailami)

Malam ini, setelah semua tertidur, aku berjalan ke teras. Angin lembut menyentuh wajahku. Aku memandang ke langit dan berbisik dalam hati:

“Ya Allah, jagalah rumah ini. Jadikan ia taman-Mu yang kecil, tempat cinta tumbuh bersama iman.”

Karena aku tahu — surga yang dijanjikan di akhirat itu dimulai dari rumah yang dihidupkan dengan doa, sabar, dan saling memaafkan di dunia.

cerpen Menemukan Cinta yang Hilang

Menemukan Cinta yang Hilang


Aku pernah mengira cinta itu cukup untuk menjaga rumah tangga tetap utuh. Tapi ternyata, setelah bertahun-tahun hidup bersama, cinta saja tidak cukup. Ia perlu kesabaran, maaf, dan keikhlasan agar tidak layu oleh waktu.

Ada masa di mana kami saling diam. Aku merasa lelah dengan sikapnya yang berubah, dan dia pun mulai kehilangan semangat berbicara. Rumah yang dulu penuh tawa berubah menjadi tempat yang hening dan asing.

Di tengah kebekuan itu, aku membaca firman Allah:

“Dan Kami jadikan sebagian kamu sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?”(QS. Al-Furqan: 20)

Ayat itu menamparku. Aku sadar, mungkin inilah cara Allah menguji cinta — bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menumbuhkan kedewasaan.

Aku pun teringat sabda Rasulullah saw:

“Tidaklah seorang mukmin membenci istrinya. Jika ia tidak menyukai satu perangainya, maka hendaklah ia ridha dengan perangainya yang lain.”(HR. Muslim)

Sejak itu, aku mulai mengubah cara pandang. Daripada mencari kesalahan, aku belajar melihat kebaikannya yang sering luput dari perhatianku. Aku mulai memuji, bukan menuntut. Aku menenangkan, bukan menambah beban.

Sore itu, aku membantunya di dapur tanpa diminta. Dia menatapku, tersenyum samar — senyum yang dulu pernah hilang. Saat itu aku tahu, Allah telah mengembalikan sesuatu yang lebih dalam dari cinta: ketenangan.

Aku paham kini bahwa rumah tangga bukan hanya tentang saling memiliki, tapi saling menuntun menuju ridha Allah. Kadang cinta hilang bukan karena tiada rasa, tapi karena kita lupa siapa yang menanamkannya: Allah sendiri.

Sejak hari itu, setiap kali kami berselisih, aku membaca doa:“A‘ūdzu billāhi minan-nār, wa min syarril kuffār, wa min ghadabil Jabbār.”(Aku berlindung kepada Allah dari neraka, dari kejahatan orang-orang kafir, dan dari murka Tuhan Yang Maha Perkasa.)

Doa itu menenangkan dada, meluruhkan amarah, dan mengingatkanku bahwa setan selalu berusaha memisahkan dua hati yang saling mencintai karena Allah.

Kini aku belajar mencintai dengan cara yang lebih tenang — tanpa banyak bicara, tapi penuh doa. Karena pada akhirnya, rumah tangga yang bahagia bukan rumah tanpa ujian, melainkan rumah yang di dalamnya ada dua insan yang terus berjuang bersama di bawah cahaya Allah.

cerpen Merajut Surga

Merajut Surga

Aku selalu percaya, rumah bukan sekadar tempat berteduh. Ia adalah taman pertama bagi jiwa, tempat hati pulang setelah penat berkelana. Tapi aku baru mengerti arti “rumahku surgaku” setelah melihat bagaimana cinta dan tanggung jawab bisa mengubah suasana rumah menjadi tempat yang dipenuhi rahmat Allah.

Aku jadi ingat firman Alloh:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”(QS. Ar-Rum: 21)

Ternyata rumah menjadi surga bukan karena kemewahan, tapi karena sakinah — ketenangan hati yang lahir dari saling memahami dan saling menanggung beban.

Aku teringat pula kisah Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Mereka hidup sangat sederhana, tapi penuh cinta dan saling menghargai. Pernah suatu malam, keduanya bergantian menumbuk gandum agar yang lain bisa beristirahat. Rasulullah saw yang mendengar itu tersenyum dan bersabda:

“Sesungguhnya membantu suami dalam urusan rumah adalah jihad bagi perempuan. ”(HR. Ibnu Hibban)

Begitulah, setiap kesabaran istri dan setiap tanggung jawab suami dicatat sebagai amal yang bisa menuntun menuju surga.

Aku pun belajar: suami bukan hanya pemimpin yang memberi perintah, tapi juga penuntun yang menenangkan.

Istri bukan hanya pengurus rumah, tapi juga penjaga ketenangan jiwa. Jika keduanya saling menunaikan peran dengan cinta karena Allah, maka rumah akan diterangi malaikat.

Rasulullah saw bersabda:

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik di antara kalian terhadap istriku.”(HR. Tirmidzi)

Sore ini aku melihat istriku menyiapkan kopi sambil tersenyum meski lelah. Aku tertegun. Betapa sering aku lupa mengucap terima kasih padanya. Lalu aku berkata dalam hati, “Jika surga itu tempat paling damai, maka rumah yang dijaga dengan cinta karena Allah adalah cermin surga di dunia.”

Kamis, 16 Oktober 2025

Siapa Menjaga Islam, Pasti Dijaga Allah

Siapa Menjaga Islam, Pasti Dijaga Allah


Saudara-saudara di mana saja berasa! 


Islam adalah agama yang dijaga langsung oleh Allah. Tidak roboh oleh waktu, tidak pudar oleh fitnah, karena  penjaganya adalah Allah sendiri!

Firman-Nya dalam Surah Al-Hijr ayat 9:

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.”

Tetapi, saudara-saudaraku, Allah menurunkan sunnah kehidupan — bahwa setiap penjagaan dari langit selalu diwujudkan-Nya melalui tangan-tangan manusia di bumi.

Siapa mereka?


Merekalah para ulama yang mengajarkan kebenaran.


Merekalah para rakyat yang istiqamah beribadah.


Dan… sejatinya, merekalah PARA PENGUASA — yang di tangannya ada kekuatan untuk menegakkan keadilan, memuliakan agama, dan melindungi umat dari kezaliman.


Namun marilah kita bertanya dengan jujur pada nurani kita —
Sudah berapa banyak PENGUASA yang benar-benar menundukkan kekuasaannya untuk agama Allah?

Sudah berapa banyak orang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman, bukan sekadar hiasan berpidato? 

Padahal, saudara-saudara sekalian,


jika seorang pemimpin menegakkan Islam dengan keikhlasan, maka seluruh rakyat akan ikut mencicipi keberkahannya.

Sebaliknya, jika ia berpaling, maka kekuasaan yang dijaga dengan dusta akan tumbang dengan kehinaan.

Rasulullah saw pernah bersabda:
"Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai; umat berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, PENGUASA adalah penjaga barisan. Jika perisai itu kuat, maka umat aman. Jika perisai itu retak, maka umat binasa.

Sejarah pun berbicara lantang!
Lihatlah Umar bin Khattab, yang berjalan malam-malam menggendong gandum untuk rakyatnya.

Lihatlah Shalahuddin Al-Ayyubi, yang tidak pernah meninggalkan tahajud bahkan di tengah perang.

Mereka bukan hanya pemimpin — mereka adalah hamba yang menundukkan kekuasaan di bawah keagungan Allah.


Dan kini, saudara-saudara sekalian,
zaman menanti penguasa-penguasa baru yang bukan hanya pandai berjanji, tapi berani sujud;
yang bukan hanya mencari simpati rakyat, tapi mencari ridha Allah!


Karena Islam tidak membutuhkan penguasa untuk tetap hidup — tetapi penguasa sangat membutuhkan Islam agar kekuasaannya bermartabat dan diridai Allah.


Allah berfirman dalam Surah Muhammad ayat 7:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan langkah-langkahmu.”


Maka siapa pun di antara kita — rakyat, ulama, bahkan penguasa — yang menegakkan kalimat Allah, maka Allah sendiri yang akan menjaga, memuliakan, dan meninggikan namanya di dunia dan di akhirat.



Ya Allah, bangkitkan di negeri ini para pemimpin yang takut kepada-Mu lebih dari takut kepada manusia.
Jadikan kami semua — kecil atau besar, rakyat atau penguasa — bagian dari penjaga agamamu yang Engkau cintai.
Āmīn ya rabbal 'aalamin …shalallahu'alaa muhammad shalallahu'alaihi wassalam. 

Waktu Menjadi Saksi

Waktu Menjadi Saksi

Hari ini Jumat — hari ketika langit seolah lebih teduh,
dan waktu berjalan pelan,
seakan memberi kesempatan bagi hati yang ingin pulang.

Di antara langkah tergesa manusia, ada panggilan lembut dari masjid:
“Hai orang-orang beriman, tinggalkan jual belimu, dan bersegeralah menuju zikir kepada Allah.”

Lalu hati yang tadinya berat, tiba-tiba terasa ringan.
Seakan dosa yang menumpuk ingin berlari keluar
saat kaki melangkah menuju rumah Allah.

Jumat adalah anugerah yang menunggu disyukuri,
pintu ampunan yang terbuka, 
dan setiap ayat yang dibaca khatib, adalah titipan rahmat dari Alloh. 

Ketika tangan diangkat di penghujung doa,
langit menunduk mendengarkan,
para malaikat berbisik, “Inilah hari di mana doa tak ditolak.”

Maka jangan biarkan Jumat lewat tanpa sujud yang tulus,
tanpa istighfar, dan tanpa shalawat. 

Karena siapa tahu, hari
ini Jumat terakhir kita di dunia. Dan di situlah sejatinya berkah terbesar: bisa kembali mengingat Allah sebelum dipanggil pulang menghadao-Nya. 

Dzikir yang Menuntun ke Surga

Dzikir yang Menuntun ke Surga

Saudara-saudara yang dimuliakan Allah…

Tahukah engkau, bahwa dia ayat terakhir At Taubah itub agaikan cahaya dari Arasy? Jika dibaca tujuh kali setiap habis salat, maka sembilan malaikat turun menjaga tubuh dan jiwamu dari segala mara bahaya.

Itulah dua ayat terakhir dari Surah At-Taubah—Laqad ja’akum rasuulun min anfusikum... hingga akhir surah.

Ayat yang menggambarkan betapa lembut kasih sayang Rasulullah saw kepada umatnya.
Ayat yang membuat bumi seakan bergetar karena cinta beliau kepada kita melebihi cinta seorang ibu kepada anaknya.

Saat aku membaca
"Laqad ja’akum rasuulun min anfusikum..."
Seakan aku sedang berbicara langsung dengan Nabi,
mengadukan segala lemahku, segala salahku, dan segala rinduku padanya.

Dan tahukah engkau, ... 
ketika dzikir itu diteruskan dengan kalimat agung penuh pengakuan:
"Raditubillahi Rabba, wa bil Islami dina, wa bi Muhammadin nabiyya wa rasuula..."
maka pintu langit terbuka. 


Barang siapa membacanya dengan hati yang tulus,
maka Rasulullah saw sendiri akan menuntunnya menuju surga.

Dan engkau pun bisa, wahai saudaraku... 


Mulailah hari-harimu dengan dua dzikir ini.
Biarlah malaikat menjagamu sembilan penjuru,
dan biarlah kelak Rasulullah menjemputmu dengan senyum kasih di pintu surga.

Saudara-saudara sekalian …
Bangkitlah!
Hidup bukan hanya untuk mengejar dunia yang fana,
tetapi untuk menyiapkan hati agar pantas bertemu dengan Sang Kekasih,
Rasul yang namanya kita sebut dalam setiap salawat,
dan Rabb yang namanya kita agungkan dalam setiap sujud.

Laqad ja’akum... bukan sekadar ayat,
tetapi seruan lembut agar kita kembali pada kasih dan cahaya.
Raditubillahi Rabba... bukan sekadar ucapan,
tetapi janji suci bahwa kita ridha kepada Allah—dan Allah pun ridha kepada kita.

Itulah dzikir yang menuntun...
menuju surga yang abadi. 

Ya Allah, jadikan kami termasuk hamba yang Engkau lindungi dengan malaikat-Mu,
yang Engkau ridhoi dengan kalimat “Raditubillahi Rabba”,
dan kelak Engkau izinkan berjalan di belakang Rasul-Mu menuju surga-Mu.

Aamiin ya Rabbal ‘alamin